Selasa, 08 November 2011

Abah Syarif, Sang Penyelamat (2)


Abah Syarif, Sang Penyelamat (2)

M
ati sajroning urip termasuk puncak ajaran ma’rifat  yang standar dan ideal yang seharusnya menjiwai seorang pemimpin negara dan bangsa. Demikianlah ruh pemimpin yang ngamandhito. Hanya pemimpin yang berjiwa seperti itulah yang mampu memimpin gerakan tanpa “pertumpahan darah” alias damai.
Corak  kepemimpinannya amat zuhud dan sepi dari nafsu kepentingan dunia sehingga ia dicintai sebagian besar umat dan rakyat. Kecintaan rakyat adalah modal utama bagi kepemimpinannya, selain ia disegani karena kedigdayaan mu’jizat maupun karomahnya. Di sinilah letak sinisihan wahyu yang mengiringi kepemimpinannya. Ia akan mampu mengatasi masalah-masalah sosial-kemasyarakatan yang muncul akibat indoktrinasi ideologi rezim sebelumnya, seperti kapitalisme dan feodalisme.
Di samping  memiliki kekuatan lahir berupa pancaindera, seorang nabi maupun wali memiliki tujuh kekuatan ruhani, yaitu imajinasi, estimasi (perhitungan), spirit penghambaan, logika ilahiah, hati, akal dan harapan. Kekuatan  lahir-batin tersebut bersinergi di bawah komando keberanian dan tekad sehingga membuahkan kedigdayaan yang membalik logika kemanusiaan!   Logika kemanusiaan yang tertuang dalam sebuah perundang-undangan maupun konstitusi tak mampu menyibak penyebab kemenangan nabi dan wali.
Alloh SWT menciptakan perhitungan (estimasi) Muhammad Saw dari nur-Nya yang bernama Al-Kamal (kesempurnaan). Dari perhitungan Muhammad, Alloh SWT  menciptakan malaikat ‘Izrail (pencabut nyawa). Ketika menciptakan estimasi Muhammad, Alloh SWT menampakkannya dengan baju “Sang Penakluk.” Tak ada kedigdayaan tokoh, pemimpin maupun raja yang mampu mengalahkan kedigdayaan Muhammad saw. Demikian juga ‘Izrail. Ia adalah malaikat yang paling digdaya. Dialah makhluk Alloh SWT yang mati terakhir dan disuruh mencabut ruhnya sendiri.  Tak ada malaikat yang mampu menandingi kedigdayaan ‘Izrail. Sama halnya dengan wali. Tak ada  seseorang yang mampu menandingi kedigdayaan wali, apalagi wali yang menyatakan bahwa ‘Izrail sudah berada di bibirnya (QS. 51: 16-23). Ancaman beliau kepada   seorang   disikapi  dengan  serius  oleh ‘Izrail.

Mu’jizat Nabi Saw
           
Dalam sejarah perkembangan Islam, tak ada yang mampu mencegah gelombang dakwah yang berkibar di dunia hampir 700 tahun. Selama da’i-da’i Islam itu menjadi kekasih Alloh SWT tak ada yang mampu membendung laju dakwah, sehingga mereka berhasil membangun  kekuasaan. Di samping itu para aparat dan penyelenggara negara termasuk sebaik-baik umat. Mereka komitmen dan konsisten terhadap moral, amar ma’ruf nahi munkar. Mereka teladan umat.
            Dimulai dari dakwah Nabi Saw. Tak ada yang mampu menghadang laju akwah Nabi. Tiap kali muncul rintangan dakwah,  pasti  Alloh  SWT  mendatangkan solusinya. Berkali-kali  beliau  hendak dihabisi, namun Alloh SWT selalu menjamin keselamatannya.  Modus-modus upaya pembunuhan pernah beliau alami dan hadapi, seperti tenung, cekikan, senjata seperti ayunan pedang, lemparan panah dan hunjaman tombak, tapi semuanya tak mampu mengenyahkannya!
Musuh  takluk yang berujung tewas dalam pertarungan atau luluh hatinya menerima nur Islam. Musuh utama dalam negeri yang ditaklukkan Nabi adalah Abu Jahal. Ia tewas dalam perang Badar. Umar bin Khathab dan Khalid bin Walid luluh hatinya menerima nur Islam. Demikian juga lawan-lawan beliau setelah itu. Semua terjadi atas izin Alloh SWT atau mu’jizat beliau.
Ketika  Alloh SWT hendak memposisikan Nabi SAW jumeneng noto, beliau tak berpikir tentang undang-undang. Dalam benak beliau, yang penting tindakannya mendapat izin dari Alloh SWT.
Kalau tujuannya semata-mata mencari tahta kepemimpinan, kemungkinan besar beliau menang lewat jalur undang-undang. Toh para tokoh Quraisy sudah menawarkan tahta kepemimpinan kepada beliau, tapi dengan syarat tidak mengusik kepentingan pragmatis mereka.
           
Kemenangan Walisongo

            Untuk   mencapai kemenangan, Walisongo juga tak berpikir tentang undang-undang pragmatis yang dibuat kerajaan Majapahit, sehingga para wali tersebut dituduh menginjak-injak aturan.
Proses kemenangan Walisongo dalam menggapai  kekuasaan  di  Indonesia pada abad ke-15 tidak lepas dari karomah, mirip seperti kemenangan Nabi. Misalnya pasukan malaikat dalam membantu mengalahkan musuh, tikus-tikus yang menggerogoti logistik musuh dan ribuan lebah yang menyengati musuh. Itulah pasukan Alloh SWT. Alloh SWT Mahakuasa mendatangkan makhluk-Nya berujud apapun sebagai pasukan untuk membantu para kekasih-Nya. Alloh SWT juga menanamkan rasa gentar ke dalam hati lawan-lawan-Nya, sehingga tipu daya mereka lemah.

Fondasi Kepemimpinan Abah Syarif

            Fondasi kepemimpinan Abah Syarif bukan dengan donga (ngidung sing durung ana), tapi melalui laku ruhaniah. Namun, doa kaitannya dengan shalat tetap tak bisa ditinggalkan. Ada empat laku ruhaniah yang dijalankan para pemimpin besar Islam di tanah Jawa, termasuk Abah Syarif Hidayatulloh H.
Pertama, laku ruhaniah “sembah raga”, yaitu sesuci badan wadhag (mensucikan jasmani) dengan cara berwudhu dan mandi. Bila tak sulit menemukan air, maka cukup debu untuk mengusap wajah dan tangan. Abah Syarif tak pernah lepas dari bersuci, kendati sedang dalam perjalanan. Termasuk kategori “sembah raga” adalah puasa, meditasi dan tapabrata di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti hutan, gunung dan makam leluhur. “Sembah raga” lebih menekankan laku jasmaniah, sehingga menjadi dasar laku ruhaniah. “Sembah raga” artinya mempersembahkan raga kepada Alloh SWT. Laku ini juga dijalankan Muhammad sebelum beliau diangkat menjadi Rasul terakhir. Beliau melakukan meditasi di gua Hira’ berhari-hari hingga Alloh SWT menurunkan wahyu.
Di   masa   mudanya   Abah  Syarif pernah melakukan pengembaraan ruhani dengan berjalan kaki dari Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur ke Banten. Selain itu beliau juga pernah tapabrata di hutan sekitar 13 tahun, sehingga hanya memakan dedaunan yang ada di hutan. Demikian juga yang dilakukan Sunan Kalijaga. Beliau tapabrata bertahun-tahun. Yang jelas makna “kalijaga” adalah mampu menjaga kalimah syahadat.
Kedua, laku spiritual “sembah cipta” atau “sembah kalbu.” Artinya mempersembahkan kalbu kepada Alloh SWT. Di dalam hati ada tiga alat batin, yaitu sirr, ruh dan qalb. Sirr berfungsi untuk  musyahadah (menyaksikan) Alloh SWT. Ruh untuk mencintai Alloh SWT dan qalb untuk menangkap kawruh dari-Nya. Sirr lebih halus dari ruh, sedang ruh lebih halus dari qalb.
Abah Syarif kental dengan laku “sembah cipta” (kalbu). Salah satu bentuk “sembah cipta” Abah Syarif adalah aplikasi metode untuk meniti karier yang berbeda dengan para pemimpin lainnya. Semuanya untuk mencari ridha Gusti Ingkang Akarya Jagad. Beliau menyelami dan mengamalkan ilmu sangkan paraning dumadi, sangkan paraning pambudi, yaitu asal-usul dan tujuan kehidupan serta upaya berbuat baik. Semua diarahkan untuk mencapai tujuan  manunggaling kawula-Gusti. Kepasrahan kepada Dzat Yang Menguasai hidup membuat beliau tidak risau atas perubahan sosial yang terjadi. Sang Penguasa hidup pasti memiliki kasih-sayang kepada makhluk-Nya. Cipta mengandung arti gagasan, angan-angan maupun harapan.
Abah Syarif dihormati lingkungan masyarakat elit dan menengah, seperti lingkungan pejabat, aparat kepolisian, militer dan mahasiswa. Namun tidak jarang di lingkungan masyarakat umum, terutama daerah Sragen beliau tak dikenal. Di lingkungan masyarakat luar Jawa justeru beliau sangat dihormati layaknya pejabat, seperti di Sumatra, Papua dan Madura.
“Sembah kalbu” menekankan pengekangan  hawa  nafsu  yang  dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan dan dosa.
Seorang tokoh agama sekaligus politik harus mampu menjalankan laku salik (peniti jalan Alloh SWT). Dalam khazanah kepemimpinan Jawa, ia menjadi narapati. Pati artinya raja, penguasa atau pengendali; nara artinya manusia. Maksudnya, pengendalian diri.
Seorang salik  hendaknya meneguhkan penglihatan batinnya ke jalan hakiki, yaitu shirathal mustaqim yang mengarah kepada tujuan. Ia tak boleh terpengaruh sesuatu dan tak menoleh ke kanan dan ke kiri. Jika hati yang bersih dan khusyu’ telah terfokus hanya menghadap Alloh SWT, biasanya ia dipanggil rasa tumalawung (suara lantang dari kejauhan) dan terbukanya sebuah dunia yang amat indah.
Tahapan semacam itu harus dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu tindak yang sareh  (perlahan, sabar dan tenang), heneng (menenangkan gerak jasmaniah), hening (menenangkan tingkah-laku ruhaniah) dan eling (mengingat Alloh SWT semata). Jika cara tersebut dilakukan dengan sebaik-baiknya, maka rasa tumalawung hilang sendiri. Saat itu ia akan mendapatkan rahmat dan keadilan-Nya.
Ketiga, laku spiritual “sembah jiwa” atau mempersembahkan jiwa kepada Alloh SWT.
Laku ini menekankan pada olah jiwa, yaitu mempersembahkan kebersihan dan kebesaran jiwa. Yang mutlak perlu adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari duniawi. Jiwa harus memiliki sifat rela melepaskan segala hak milik. Pikiran dan perasaan harus kosong dari keinginan untuk memiliki. Hal ini membuahkan sikap narima, yaitu sikap rela menerima nasib. Apapun yang terjadi dan menimpa dirinya dalam perjuangan di jalan Alloh SWT, harus diterima dengan tabah dan sabar. Tak ada keluh-kesah, apalagi merengek minta kasihan kepada orang lain. Sikap semacam ini diperoleh dengan jalan kesejatian hidup yang sederhana dan bersih, tanpa meninggalkan konsentrasi untuk pengekangan diri lewat tahannuts (meditasi).
Bila seorang salik telah menjalani pamudharan (berpisah dari duniawi), maka proses utama selanjutnya ia  mengalami manunggaling kawula-Gusti. Abah Syarif tak pernah berkeluh-kesah atas ujian yang dialaminya, seperti sakit dan kesulitan. Ketika gunung Merapi meletus belum lama ini beliau pergi untuk memberikan pertolongan kepada santri-santrinya yang menjadi korban letusan di sekitar areal letusan, kendati beliau sedang sakit.
“Sembah jiwa” menuntut kesadaran salik setiap saat bahwa percikan nur Muhammad yang bersemayam dalam dirinya merupakan  kesatuan dari samudra nur Ilahi. Ibarat ombak tak terpisah dari lautan. Orang yang sudah mencapai pamudharan berkewajiban menjalankan kegiatan hidup di dunia nyata. Ia wajib menjalankan laku sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana (bertindak tanpa pamrih, giat melakukan  kegiatan yang bermanfaat bagi orang lain serta melestarikan dan memelihara keselamatan alam). Ia lapang dada terhadap orang lain yang masih mendewakan duniawi. Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari Abah Syarif melayani orang-orang yang minta berkah duniawi kepada beliau, seperti pejabat yang ingin naik pangkat. Beliau tetap lapang dada menyikapi orang yang semacam ini.
Semakin jernih jiwa seorang salik, kian jauh dari tindak kekerasan. Mereka mampu mengendalikan emosi. Mereka senantiasa mulat sarira hangrasa wani, introspeksi atau mawas diri. Sejak belia hingga sekarang Abah Syarif belum pernah melakukan kekerasan, seperti menempeleng orang. Pernah beliau menyesal menempeleng orang yang mau menghabisi nyawanya. Beliau lebih suka “menempeleng” orang lain dengan kata-kata, demi menyucikan jiwa orang tersebut.
“Sembah jiwa” adalah pepuntoning laku, akhir perjalanan ruhaniah. Cara bersuci pada “sembah jiwa” bukan dengan wudhu atau mandi maupun mengendalikan hawa nafsu pada “sembah cipta”, tapi dengan eling lan waspada (ingat dan waspada) pada alam baqa’ (kekal). Pada tingkatan ini ia dihadapkan pada keadaan yang luar biasa menggiurkan, tapi ia tak boleh melepaskan sikap rela dan ikhlas. Ia harus lapang dada, terbuka hati, berani kehilangan dan tak menyesali kerugian atas dirinya. Berbagai bencana, kesulitan dan ujian dari manapun seolah tak pernah terjadi. Kerugian yang terjadi karena kesalahan orang lain, dimaafkan. Kerugian disebabkan lingkungan yang alamiah dan kehendak Sang Khaliq.
“Halangan, rintangan dan cobaan adalah konsumsi harian. Fitnah dan lawan sebagai hiburan,” demikian semboyan Abah Syarif. Pernah beliau dikhianati santrinya dengan nilai milyaran rupiah, tapi  tiada rasa dendam pada hati beliau. Beliau memaafkannya bahkan menyuruh aparat untuk mengeluarkan  santrinya tersebut dari bui. Beliau juga mendoakan baik bagi pencuri yang telah mencuri suku cadang alat beratnya yang bernilai ratusan juta rupiah.
“Sebelum aku mati sudilah Alloh menghabisi kekayaanku,” demikian kata Abah Syarif.
Jika seorang pemimpin menyadari tujuan pokok hidup manusia untuk “manunggal” dengan Gusti, maka ia tak akan bersikap aji mumpung (memanfaatkan jabatan) ketika memegang kekuasaan. Manunggaling kawula-Gusti     adalah posisi yang harus diraih pemimpin sejati. Ketika ia berkuasa semua rakyat diperlakukan dengan layak dan terhormat.
Keempat, laku spiritual “sembah rasa”. Seorang tokoh politik dan agama selayaknya berbudi bawa laksana, murah hati sekaligus menepati kata-katanya. Ia pantang esuk dhele sore tempe alias plin-plan terhadap kata-katanya, karena berdampak negatif atas dirinya. Pelaksanaan sembah rasa tidak lagi memerlukan bimbingan guru seperti pada ketiga sembah lainnya, tapi dengan kekuatan batinnya yang telah manunggal dengan-Nya.
Ciri orang yang sudah mencapai tahapan “sembah rasa” adalah anteng, meneng, jatmika, sembada dan wiratama. Anteng (tenang) yang mengandung makna larangan meremehkan hal-hal yang kelihatan remeh. Meneng, artinya dengan diam lama kelamaan ia akan sadar diri. Jatmika, yaitu segala tindak-tanduk berdasarkan kaidah kesusilaan, sehingga siapapun yang menyaksikan berkenan hati. Sembada artinya bertindak sesuai kemampuan, sesuai dengan kenyataan serta mengambil keputusan tanpa merepotkan orang lain. Wiratama berasal dari wira dan utama. Wira artinya gagah-berani, utama artinya kebenaran dan keadilan.  Maknanya, satrio suci yang gagah-berani membela kebenaran dan keadilan.
Para nabi dan wali berada pada tingkatan ini.
Dalam diri manusia terdapat empat alat batin, yaitu kalbu, jiwa (nafsu), ruh dan rasa (inti ruh). Pelaksanaan “sembah rasa” jelas dalam penghayatan dan pengamalan makna ihsan.
“Engkau mengabdi kepada Alloh SWT seakan engkau melihat-Nya. Jika engkau tak melihat-Nya, tentu Dia melihat engkau.” (Hadits Nabi saw).
Betapa pentingnya seseorang mengabdi kepada Alloh SWT, seolah ia melihat dirinya di muka cermin. Jika cerminnya kotor hendaknya dibersihkan. Bila cerminnya bersih, ia bisa melihat dirinya. Demikianlah makna laku Abah Syarif ketika melihat disyuting saat  memberikan wejangan di panggung pada HUT ke-25 Ponpes Nurul Huda. Abah Syarif melihat dirinya sendiri! Beliau ditunggu-tunggu sebagai Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu Jumeneng Noto  yang akan membimbing sekaligus menyelamatkan umat dan bangsa.
            Keempat laku tersebut sebagai fondasi kokoh dalam kepribadiannya, sehingga melahirkan sikap tegas membela kebenaran, andhap asor, arif-bijaksana, jujur, dermawan, zuhud dan lain sebagainya.

Tanda-tanda Kemenangan kaum sholeh

Sesuai siklus seabad, tahun 2011 ke atas saatnya kemenangan kaum sholeh! Jika tak terjadi kemenangan, berarti tak ada orang yang memenuhi standar kesholehan! Standar kesholehan tersebut bisa dibaca dalam kepribadian Abah Syarif, sehingga selayaknya Alloh SWT memberikan kemenangan kepada beliau. Artinya kekuasaan di tangan beliau untuk beramar ma’ruf nahi munkar!
Tanda-tanda kehadiran Abah Syarif untuk jumeneng noto sekarang ini cukup akurat, mulai yang bernuansa mistik hingga yang konkrit. Yang bernuansa mistik sesuai Jangka Jayabaya dan Ronggowarsito, seperti meletusnya gunung Merapi yang laharnya menuju ke arah barat daya. Yang konkrit, misalnya penguasaan beliau atas ilmu sekaligus praktek dalam masalah agama, sosial, politik, ekonomi, humaniora, tatanegara, seni-budaya, diplomasi, pertahanan dan keamanan.
Selain memiliki ilmu agama yang kuat, Abah Syarif  dikenal akrab dengan para preman. Beliau mengenal betul dunia premanisme, tanpa larut dalam dunia hitam ini. Beliau juga sebagai penasehat serikat buruh. Dengan demikian masalah sosial-ekonomi yang berkaitan dengan perburuhan dapat beliau pahami.
Lantaran sudah akrab dengan tokoh preman, beliau mampu menghilangkan anggaran jatah preman dalam manajemen usahanya. Hal ini tentu sebuah penghematan beaya yang besar.
Masalah sosial lainnya seperti soal gelandangan dan orang gila di jalanan, sudah banyak ia selami lewat laku. Beliau akrab dengan para gelandangan dan orang gila di jalanan, bahkan seringkali menjadi media untuk menyembuhkan mereka. Demikian juga dengan orang-orang yang menjadi korban narkoba.
Dalam masalah ketatanegaraan Abah Syarif punya pandangan yang ideal. Misalnya, persoalan otonomi daerah di Indonesia sekarang ini telah menimbulkan kesenjangan antardaerah. Jika jumeneng noto nanti, otonomi daerah akan beliau hapuskan. Semua daerah akan diperlakukan sama dan adil, kendati tak menepis beda-beda panduming dumadi (perbedaan rezeki).
  Otonomi daerah akan dihapuskan, karena menimbulkan kesenjangan maupun pilih kasih. UU Otonomi Daerah telah membuka peluang bagi oknum-oknum untuk membangun kekuasaan baru serta memegang kendali atas sumber daya setempat dan dana pemerintah.
Abah Syarif  hendak menghapus otonomi daerah, tanpa  melepaskan kesadarannya akan beda-beda panduming dumadi  antara seseorang dengan orang lain.

Kerja keras demi nguntungke wong liya

            Selaku pengusaha, Abah Syarif banyak mengecam kebijaksanaan pemerintah yang diskriminatif terhadap warganya dalam masalah perbankan.  Bank milik pemerintah yang seharusnya milik rakyat, hanyalah sekadar nama belaka! Sebagian besar warga negara tertentu berhak mendapat kredit dengan bunga 0 %. Sedang warga negara yang lain mendapat kredit dengan bunga 1,5-2%.
Baik mendapatkan kredit  maupun tanpa kredit bank Abah Syarif mampu mengembangkan usahanya dengan hasil yang fantastis, sehingga bisnisnya mampu menembus pasaran mancanegara.
Jika Abah Syarif jumeneng noto tentu tak ada diskriminasi terhadap semua elemen masyarakat. Tentu rakyat yang  mendapatkan pinjaman dibebaskan dari jeratan bunga. Semua berhak menikmati bunga 0%. Luar biasa!
Abah Syarif begitu waspada terhadap kapitalisme perbankan dan feodalisme. Beliau hendak mengangkat wong cilik dari tekanan kapitalis, seperti sopir taksi. Abah Syarif bukanlah seorang tuan tanah yang feodalistis, tapi pembebas lahan untuk didayagunakan bagi kepentingan si lemah dan umum, seperti  pesantren, sekolahan dan masjid.   Hal ini bukan bertujuan mengeruk keuntungan dari mereka.
Betapa peka rahsa (posisi diri) dan rasa Abah Syarif  terhadap kondisi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan Indonesia sekarang ini.
Beliau  singkiri konsumsi barang-barang bernilai mahal yang tak penting bagi orang kaya, seperti membangun rumah mewah. Jangankan rumah mewah, rumah pribadi pun beliau tak membangun. Padahal pendapatannya sehari rata-rata 5 juta rupiah. Beliau hanya menyisihkan 100 ribu rupiah untuk konsumsi keluarganya per hari untuk 2 isteri dan 5 putra beliau.  Rumahnya menjadi satu dengan bangunan pondok pesantren. Sebaliknya beliau sangat memperhatikan barang-barang yang bernilai murah yang amat diperlukan si miskin, seperti beras.
Barang relatif murah yang tak dibutuhkan orang kaya maupun miskin, seperti rokok, beliau tinggalkan. Beliau tak merokok. Hal ini sebagai teladan bagi santrinya untuk tidak merokok.
Beliau sangat memperhatikan pengadaan barang standar kebutuhan bagi si lemah, meskipun untuk diri pribadinya bisa di bawah standar.  Misalnya santrinya harus makan beras, sedang pribadinya bisa makan gaplek kalau perlu. Pesantrennya mendidik para santri untuk siap kerja dengan profesional dan jujur. Demikianlah prinsip ekonomi, etos kerja dan kaderisasi Abah Syarif.
            Dengan menegakkan jiwa agama ini, semoga kita dapat meluruskan tugas manusia di bumi sebagai khalifah Alloh SWT. Abah Syarif bertekad keras hendak menjadikan jiwa agama dalam semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara jika Alloh SWT memberikan kekuasaan kepadanya.

Wahyu sebagai Penggerak Gerakan Damai
           
Wahyu dengan penjabaran  Tajdid (pembaruan) berperan dalam membebaskan umat dari penjajahan para penguasa zhalim, dengan mencabut akar-akar kezaliman. Singkatnya sebagai penggerak gerakan damai. Lain dengan peran  ideologi sebagai pembebas semu, seperti kapitalisme dan marxisme.
Demikian juga agama yang berubah menjadi ritus, sehingga melahirkan feodalisme.
Kapitalisme termasuk gerakan kemerdekaan terhadap penjajahan kaum feodal di Eropa yang dipelopori para pengusaha dan teknokrat. Kedua kelompok ini dilindungi raja-raja feodal yang mengatasnamakan agama. Dengan berhasilnya kapitalisme, matilah feodalisme. Di sinilah peran ideologi sebagai “gerakan kemerdekaan.” Demikian juga marxisme, telah menelanjangi kedok kaum kapitalis sebagai penjajah kaum buruh. Sebaliknya, kapitalisme juga menelanjangi marxisme yang telah mengekang kebebasan individu untuk berkembang.
            Abah Syarif dan para pemimpin religius lain bukanlah seorang ideolog. Mereka pewaris para nabi istiqomah, yang tak mungkin menjual ajarannya. Hanya ulama su’ (jelek) yang menjual ajarannya.
Ulama su’ mirip dengan ideolog yang menjual gagasan untuk kepentingan pribadi dan golongannya, sungguhpun melahirkan tragedi sejarah.
            Sebagai motor penggerak gerakan damai, wahyu menyentuh hablumminAlloh  dan hablumminannas. HablumminAlloh berisi taubat dan taat kepada Alloh SWT. Sedang hablumminannas berarti menguntungkan orang lain, minimal tidak merugikan orang lain. Di sinilah peran manusia sebagai kholifah. Wahyu telah mencabut akar-akar kezaliman dalam hati kholifah sebagai pelaku sejarah.
Seorang kholifah akan bertindak arif-bijaksana dalam menanamkan nilai-nilai keadilan kepada umat dan rakyat.

Nasionalisme

Abah Syarif menggunakan pendekatan seni dan budaya dalam dakwahnya, sebagaimana pendekatan sebagian wali dulu. Setiap malam Ahad Legi beliau memberikan wejangan dengan iringan wayang kulit dan gamelan reog. Dalam dakwahnya beliau menyelipkan sebagian humaniora, seperti teologi, filsafat, ilmu hukum, ilmu sejarah,  sastra dan seni.  Kemampuannya  ini berkat karomah dari Alloh SWT, karena beliau terus-terang mengaku tak pernah mengenyam bangku sekolah!
“Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” menjadi tema dalam acara HUT Ponpes Nurul Huda ke-25. Berbeda-beda (ajaran kepercayaan, suku, bahasa) tapi tetap (satu), tak ada kebenaran yang mendua. Demikianlah semboyan nasionalisme dalam arti luas.
“Manusia adalah umat yang satu…” (QS 2:213).
Maknanya, fitrah dasar kemanusiaan adalah beribadah kepada Alloh SWT. Oleh karena itu, Alloh SWT mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan kepada mereka. Tujuannya, agar mereka mengikuti petunjuk risalah. Banyak ragam agama, keyakinan dan ritus ibadah, tapi Alloh SWT masih memberi penghormatan kepada para pemeluknya.
“Tak ada paksaan untuk memasuki agama Islam…”
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku…” Toh masing-masing akan mempertanggungjawabkan amalannya di hadapan Sang Pencipta.
Nasionalisme Indonesia dirintis  HOS Tjokroaminoto pada 1911 dengan wadah Sarekat Islam (SI). SI yang berasaskan Islam ini didirikan setelah beliau mendapatkan pengajaran “langsung” dari Nabi SAW melalui ruh. Beliau alumni pesantren. Begitu besar peran pesantren dalam perjuangan menegakkan negeri ini. SI mewadahi para pendukung dua ideologi di Indonesia, yaitu komunis, dan nasionalis serta Islam sebagai agama samawi. Banyak tokoh moderat dan radikal lain yang berasal dari SI. Tokoh-tokoh masyarakat lain yang alumni pesantren, misalnya  K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan.
Seabad sebelum HOS Tjokroaminoto mendirikan SI, telah muncul seorang mujaddid pada 1811, yaitu Pangeran Diponegoro. Saat inilah beliau jumeneng noto. Beliau diberi gelar Sultan Abdul Hamid Heru Cakra Amirul Mukminin Sayyidin Panoto gomo Khalifatullah Tanah Jawa. Dengan demikian, pada 2011 ini tentu Alloh SWT memunculkan seorang mujaddid yang memiliki standar kesholehan sebagaimana melekat pada pribadi Abah Syarif. Beliau siap berjuang memimpin bangsa dan negara dengan bingkai nasionalisme.
Sebagian orang Islam menolak nasionalisme, dengan alasan ia berseberangan dengan Islam yang bersifat universal.
Jika yang dimaksud nasionalisme sebagai jembatan menuju Islam yang universal, tentu dapat diterima. Hal ini berarti upaya pembebasan tanah air dari penjajahan, dengan ikatan kekeluargaan antarmasyarakat. Nasionalisme yang seperti ini bahkan wajib diterima, karena Rasulullah SAW juga mencintai tanah airnya lewat ikatan kekeluargaan antarmasyarakat.
Pandangan ke depan Abah Syarif tentang hankam (pertahanan dan keamanan) tak hanya dititikberatkan pada peralatan fisik hankam, tapi juga jiwa. Pendidikan ruhani dan mentalitas justeru menjadi tulang-punggung hankam, karena peralatan fisik tanpa didukung mentalitas personil yang mumpuni akan sia-sia. Jangan ada lagi peluru aparat yang menerjang rakyat dengan sewenang-wenang! Demikian juga dengan intelijen negara yang lebih cenderung mengorbankan rakyat sekaligus membela kepentingan asing.
Kharisma kepemimpinan Abah Syarif memiliki konsekuensi kehebatan untuk berdiplomasi.
Kita songsong kemerdekaan bangsa yang sejati, dengan hadirnya seorang pemimpin nasionalis, Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu. Beliau  pemimpin   yang menjauhi kekerasan, sehingga terjadilah gerakan damai sebagai konsekuensi sikap olah rasanya.    Beliau seorang alumni santri yang kini mbahurekso pesantren. Di awal perjalanan kebangkitan politik Indonesia pada 1911 dirintis alumni santri. Upaya  pencapaian kemerdekaan bangsa  yang sejati pada 2011 ke atas juga dipelopori  pengasuh pesantren dan santri.
Intaha. Leres Gusti.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar