Abah Syarif, Sang
Penyelamat (2)
M
|
ati sajroning urip
termasuk puncak ajaran ma’rifat yang
standar dan ideal yang seharusnya menjiwai seorang pemimpin negara dan bangsa.
Demikianlah ruh pemimpin yang ngamandhito. Hanya pemimpin yang berjiwa
seperti itulah yang mampu memimpin gerakan tanpa “pertumpahan darah” alias
damai.
Corak
kepemimpinannya amat zuhud dan sepi dari nafsu kepentingan dunia
sehingga ia dicintai sebagian besar umat dan rakyat. Kecintaan rakyat adalah modal utama bagi kepemimpinannya,
selain ia disegani karena kedigdayaan mu’jizat maupun karomahnya. Di sinilah
letak sinisihan wahyu yang mengiringi kepemimpinannya. Ia akan mampu mengatasi masalah-masalah sosial-kemasyarakatan
yang muncul akibat indoktrinasi ideologi rezim sebelumnya, seperti
kapitalisme dan feodalisme.
Di
samping memiliki kekuatan lahir berupa
pancaindera, seorang nabi maupun wali memiliki tujuh kekuatan ruhani, yaitu
imajinasi, estimasi (perhitungan), spirit penghambaan, logika ilahiah, hati,
akal dan harapan. Kekuatan lahir-batin
tersebut bersinergi di bawah komando keberanian dan tekad sehingga membuahkan
kedigdayaan yang membalik logika kemanusiaan!
Logika kemanusiaan yang tertuang dalam sebuah perundang-undangan maupun
konstitusi tak mampu menyibak penyebab kemenangan nabi dan wali.
Alloh SWT
menciptakan perhitungan (estimasi) Muhammad Saw dari nur-Nya yang bernama Al-Kamal
(kesempurnaan). Dari perhitungan
Muhammad, Alloh SWT menciptakan
malaikat ‘Izrail (pencabut nyawa). Ketika menciptakan estimasi Muhammad, Alloh
SWT menampakkannya dengan baju “Sang Penakluk.” Tak ada kedigdayaan tokoh,
pemimpin maupun raja yang mampu mengalahkan kedigdayaan Muhammad saw. Demikian
juga ‘Izrail. Ia adalah malaikat yang paling digdaya. Dialah makhluk Alloh SWT
yang mati terakhir dan disuruh mencabut ruhnya sendiri. Tak ada malaikat yang mampu menandingi
kedigdayaan ‘Izrail. Sama halnya dengan wali. Tak ada seseorang yang mampu menandingi kedigdayaan
wali, apalagi wali yang menyatakan bahwa ‘Izrail sudah berada di bibirnya (QS.
51: 16-23). Ancaman beliau kepada seorang
disikapi dengan serius
oleh ‘Izrail.
Mu’jizat
Nabi Saw
Dalam sejarah
perkembangan Islam, tak ada yang mampu mencegah gelombang dakwah yang berkibar
di dunia hampir 700 tahun. Selama da’i-da’i Islam itu menjadi kekasih Alloh SWT
tak ada yang mampu membendung laju dakwah, sehingga mereka berhasil
membangun kekuasaan. Di samping itu para
aparat dan penyelenggara negara termasuk sebaik-baik umat. Mereka komitmen dan
konsisten terhadap moral, amar ma’ruf nahi munkar. Mereka teladan umat.
Dimulai
dari dakwah Nabi Saw. Tak ada yang mampu menghadang laju akwah Nabi. Tiap kali
muncul rintangan dakwah, pasti Alloh SWT
mendatangkan solusinya. Berkali-kali beliau hendak dihabisi, namun Alloh SWT selalu menjamin
keselamatannya. Modus-modus upaya
pembunuhan pernah beliau alami dan hadapi, seperti tenung, cekikan, senjata
seperti ayunan pedang, lemparan panah dan hunjaman tombak, tapi semuanya tak
mampu mengenyahkannya!
Musuh takluk yang berujung tewas dalam pertarungan
atau luluh hatinya menerima nur Islam. Musuh utama dalam negeri yang
ditaklukkan Nabi adalah Abu Jahal. Ia tewas dalam perang Badar. Umar bin
Khathab dan Khalid bin Walid luluh hatinya menerima nur Islam. Demikian juga
lawan-lawan beliau setelah itu. Semua terjadi atas izin Alloh SWT atau mu’jizat
beliau.
Ketika
Alloh SWT hendak memposisikan Nabi SAW jumeneng noto,
beliau tak berpikir tentang undang-undang. Dalam benak beliau, yang penting
tindakannya mendapat izin dari Alloh SWT.
Kalau tujuannya
semata-mata mencari tahta kepemimpinan, kemungkinan besar beliau menang lewat
jalur undang-undang. Toh para tokoh Quraisy sudah menawarkan tahta
kepemimpinan kepada beliau, tapi dengan syarat tidak mengusik kepentingan
pragmatis mereka.
Kemenangan
Walisongo
Untuk mencapai kemenangan, Walisongo juga tak berpikir
tentang undang-undang pragmatis yang dibuat kerajaan Majapahit, sehingga para wali
tersebut dituduh menginjak-injak aturan.
Proses
kemenangan Walisongo dalam menggapai kekuasaan di Indonesia
pada abad ke-15 tidak lepas dari karomah, mirip seperti kemenangan Nabi.
Misalnya pasukan malaikat dalam membantu mengalahkan musuh, tikus-tikus yang
menggerogoti logistik musuh dan ribuan lebah yang menyengati musuh. Itulah
pasukan Alloh SWT. Alloh SWT Mahakuasa mendatangkan makhluk-Nya berujud apapun
sebagai pasukan untuk membantu para kekasih-Nya. Alloh SWT juga menanamkan rasa
gentar ke dalam hati lawan-lawan-Nya, sehingga tipu daya mereka lemah.
Fondasi
Kepemimpinan Abah Syarif
Fondasi
kepemimpinan Abah Syarif bukan dengan donga (ngidung sing durung ana),
tapi melalui laku ruhaniah. Namun, doa kaitannya dengan shalat tetap tak bisa
ditinggalkan. Ada
empat laku ruhaniah yang dijalankan para pemimpin besar Islam di tanah Jawa,
termasuk Abah Syarif Hidayatulloh H.
Pertama,
laku ruhaniah “sembah raga”, yaitu sesuci
badan wadhag (mensucikan jasmani) dengan cara berwudhu dan mandi. Bila
tak sulit menemukan air, maka cukup debu untuk mengusap wajah dan tangan. Abah
Syarif tak pernah lepas dari bersuci, kendati sedang dalam perjalanan. Termasuk
kategori “sembah raga” adalah puasa, meditasi dan tapabrata di
tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti hutan, gunung dan makam leluhur.
“Sembah raga” lebih menekankan laku jasmaniah, sehingga menjadi dasar laku ruhaniah. “Sembah raga” artinya mempersembahkan
raga kepada Alloh SWT. Laku ini juga dijalankan Muhammad sebelum beliau
diangkat menjadi Rasul terakhir. Beliau melakukan meditasi di gua Hira’
berhari-hari hingga Alloh SWT menurunkan wahyu.
Di masa mudanya
Abah Syarif pernah
melakukan pengembaraan ruhani dengan berjalan kaki dari Alas Purwo, Banyuwangi,
Jawa Timur ke Banten. Selain itu beliau juga pernah tapabrata di hutan
sekitar 13 tahun, sehingga hanya memakan dedaunan yang ada di hutan. Demikian
juga yang dilakukan Sunan Kalijaga. Beliau tapabrata bertahun-tahun.
Yang jelas makna “kalijaga” adalah mampu menjaga kalimah syahadat.
Kedua,
laku spiritual “sembah cipta” atau “sembah kalbu.” Artinya
mempersembahkan kalbu kepada Alloh SWT. Di dalam hati ada tiga alat batin,
yaitu sirr, ruh dan qalb. Sirr berfungsi untuk musyahadah (menyaksikan) Alloh SWT. Ruh
untuk mencintai Alloh SWT dan qalb untuk menangkap kawruh dari-Nya. Sirr
lebih halus dari ruh, sedang ruh lebih halus dari qalb.
Abah Syarif
kental dengan laku “sembah cipta” (kalbu). Salah satu bentuk “sembah cipta”
Abah Syarif adalah aplikasi metode untuk meniti karier yang berbeda dengan para
pemimpin lainnya. Semuanya untuk mencari ridha Gusti Ingkang Akarya Jagad.
Beliau menyelami dan mengamalkan ilmu sangkan paraning dumadi,
sangkan paraning pambudi, yaitu asal-usul dan tujuan kehidupan serta upaya
berbuat baik. Semua diarahkan untuk mencapai tujuan manunggaling kawula-Gusti. Kepasrahan
kepada Dzat Yang Menguasai hidup membuat beliau tidak risau atas perubahan
sosial yang terjadi. Sang Penguasa hidup pasti memiliki kasih-sayang kepada
makhluk-Nya. Cipta mengandung arti gagasan, angan-angan maupun harapan.
Abah Syarif
dihormati lingkungan masyarakat elit dan menengah, seperti lingkungan pejabat,
aparat kepolisian, militer dan mahasiswa. Namun tidak jarang di lingkungan
masyarakat umum, terutama daerah Sragen beliau tak dikenal. Di lingkungan
masyarakat luar Jawa justeru beliau sangat dihormati layaknya pejabat, seperti
di Sumatra , Papua dan Madura.
“Sembah kalbu” menekankan pengekangan hawa nafsu
yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan dan
dosa.
Seorang tokoh
agama sekaligus politik harus mampu menjalankan laku salik (peniti jalan
Alloh SWT). Dalam khazanah kepemimpinan Jawa, ia menjadi narapati.
Pati artinya raja, penguasa atau pengendali; nara artinya manusia. Maksudnya,
pengendalian diri.
Seorang salik hendaknya meneguhkan penglihatan
batinnya ke jalan hakiki, yaitu shirathal mustaqim yang mengarah kepada
tujuan. Ia tak boleh terpengaruh sesuatu dan tak menoleh ke kanan dan ke kiri.
Jika hati yang bersih dan khusyu’ telah terfokus hanya menghadap Alloh SWT,
biasanya ia dipanggil rasa tumalawung (suara lantang dari kejauhan) dan
terbukanya sebuah dunia yang amat indah.
Tahapan semacam itu harus dilanjutkan ke
tahap berikutnya, yaitu tindak yang sareh (perlahan, sabar dan tenang), heneng (menenangkan
gerak jasmaniah), hening (menenangkan tingkah-laku ruhaniah) dan eling
(mengingat Alloh SWT semata). Jika cara tersebut dilakukan dengan sebaik-baiknya, maka rasa
tumalawung hilang sendiri. Saat itu ia akan mendapatkan rahmat dan
keadilan-Nya.
Ketiga,
laku spiritual “sembah jiwa” atau mempersembahkan jiwa kepada Alloh SWT.
Laku ini
menekankan pada olah jiwa, yaitu mempersembahkan kebersihan dan kebesaran jiwa.
Yang mutlak perlu adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari duniawi. Jiwa
harus memiliki sifat rela melepaskan segala hak milik. Pikiran dan perasaan
harus kosong dari keinginan untuk memiliki. Hal ini membuahkan sikap narima,
yaitu sikap rela menerima nasib. Apapun yang terjadi dan menimpa dirinya dalam
perjuangan di jalan Alloh SWT, harus diterima dengan tabah dan sabar. Tak ada
keluh-kesah, apalagi merengek minta kasihan kepada orang lain. Sikap semacam
ini diperoleh dengan jalan kesejatian hidup yang sederhana dan bersih, tanpa
meninggalkan konsentrasi untuk pengekangan diri lewat tahannuts
(meditasi).
Bila seorang salik
telah menjalani pamudharan (berpisah dari duniawi), maka proses utama
selanjutnya ia mengalami manunggaling
kawula-Gusti. Abah Syarif tak pernah berkeluh-kesah atas ujian yang
dialaminya, seperti sakit dan kesulitan. Ketika gunung Merapi meletus belum
lama ini beliau pergi untuk memberikan pertolongan kepada santri-santrinya yang
menjadi korban letusan di sekitar areal letusan, kendati beliau sedang sakit.
“Sembah jiwa”
menuntut kesadaran salik setiap saat bahwa percikan nur Muhammad
yang bersemayam dalam dirinya merupakan
kesatuan dari samudra nur Ilahi. Ibarat ombak tak terpisah dari lautan. Orang yang sudah mencapai pamudharan
berkewajiban menjalankan kegiatan hidup di dunia nyata. Ia wajib menjalankan
laku sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana (bertindak
tanpa pamrih, giat melakukan kegiatan
yang bermanfaat bagi orang lain serta melestarikan
dan memelihara keselamatan alam). Ia lapang dada terhadap orang
lain yang masih mendewakan duniawi. Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari Abah
Syarif melayani orang-orang yang minta berkah duniawi kepada beliau, seperti
pejabat yang ingin naik pangkat. Beliau tetap lapang dada menyikapi orang yang
semacam ini.
Semakin jernih
jiwa seorang salik, kian jauh dari tindak kekerasan. Mereka mampu
mengendalikan emosi. Mereka senantiasa mulat sarira hangrasa wani,
introspeksi atau mawas diri. Sejak belia hingga sekarang Abah Syarif
belum pernah melakukan kekerasan, seperti menempeleng orang. Pernah beliau
menyesal menempeleng orang yang mau menghabisi nyawanya. Beliau lebih suka
“menempeleng” orang lain dengan kata-kata, demi menyucikan jiwa orang tersebut.
“Sembah jiwa”
adalah pepuntoning laku, akhir perjalanan ruhaniah. Cara bersuci pada
“sembah jiwa” bukan dengan wudhu atau mandi maupun mengendalikan hawa nafsu
pada “sembah cipta”, tapi dengan eling lan waspada (ingat dan waspada)
pada alam baqa’ (kekal). Pada tingkatan ini ia dihadapkan pada
keadaan yang luar biasa menggiurkan, tapi ia tak boleh melepaskan sikap rela
dan ikhlas. Ia harus lapang dada, terbuka hati, berani kehilangan dan tak
menyesali kerugian atas dirinya. Berbagai bencana, kesulitan dan ujian dari
manapun seolah tak pernah terjadi. Kerugian yang terjadi karena kesalahan orang
lain, dimaafkan. Kerugian disebabkan
lingkungan yang alamiah dan kehendak Sang Khaliq.
“Halangan,
rintangan dan cobaan adalah konsumsi harian. Fitnah dan lawan sebagai hiburan,”
demikian semboyan Abah Syarif. Pernah beliau dikhianati santrinya dengan nilai
milyaran rupiah, tapi tiada rasa dendam
pada hati beliau. Beliau memaafkannya bahkan menyuruh aparat untuk
mengeluarkan santrinya tersebut dari
bui. Beliau juga mendoakan baik bagi pencuri yang telah mencuri suku cadang
alat beratnya yang bernilai ratusan juta rupiah.
“Sebelum aku
mati sudilah Alloh menghabisi kekayaanku,” demikian kata Abah Syarif.
Jika seorang
pemimpin menyadari tujuan pokok hidup manusia untuk “manunggal” dengan Gusti,
maka ia tak akan bersikap aji mumpung (memanfaatkan jabatan) ketika
memegang kekuasaan. Manunggaling kawula-Gusti adalah posisi yang harus diraih pemimpin
sejati. Ketika ia berkuasa semua rakyat diperlakukan dengan layak dan terhormat.
Keempat, laku
spiritual “sembah rasa”. Seorang tokoh politik dan agama selayaknya berbudi bawa
laksana, murah hati sekaligus menepati kata-katanya. Ia pantang esuk
dhele sore tempe
alias plin-plan terhadap kata-katanya, karena berdampak negatif atas dirinya.
Pelaksanaan sembah rasa tidak lagi memerlukan bimbingan guru seperti pada
ketiga sembah lainnya, tapi dengan kekuatan batinnya yang telah manunggal
dengan-Nya.
Ciri orang
yang sudah mencapai tahapan “sembah rasa” adalah anteng, meneng, jatmika,
sembada dan wiratama. Anteng (tenang) yang mengandung makna larangan
meremehkan hal-hal yang kelihatan remeh. Meneng, artinya dengan diam
lama kelamaan ia akan sadar diri. Jatmika, yaitu segala tindak-tanduk
berdasarkan kaidah kesusilaan, sehingga siapapun yang menyaksikan berkenan
hati. Sembada artinya bertindak sesuai kemampuan, sesuai dengan
kenyataan serta mengambil keputusan tanpa merepotkan orang lain. Wiratama berasal
dari wira dan utama. Wira artinya gagah-berani, utama artinya kebenaran dan keadilan. Maknanya, satrio suci yang gagah-berani
membela kebenaran dan keadilan.
Dalam diri
manusia terdapat empat alat batin, yaitu kalbu, jiwa (nafsu), ruh dan rasa
(inti ruh). Pelaksanaan “sembah rasa” jelas dalam penghayatan dan pengamalan
makna ihsan.
“Engkau
mengabdi kepada Alloh SWT seakan engkau melihat-Nya. Jika engkau tak
melihat-Nya, tentu Dia melihat engkau.” (Hadits Nabi saw).
Betapa
pentingnya seseorang mengabdi kepada Alloh SWT, seolah ia melihat dirinya di
muka cermin. Jika cerminnya kotor hendaknya dibersihkan. Bila cerminnya bersih,
ia bisa melihat dirinya. Demikianlah makna laku Abah Syarif ketika melihat
disyuting saat memberikan wejangan di
panggung pada HUT ke-25 Ponpes Nurul Huda. Abah Syarif melihat dirinya sendiri!
Beliau ditunggu-tunggu sebagai Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu Jumeneng
Noto yang akan membimbing
sekaligus menyelamatkan umat dan bangsa.
Keempat
laku tersebut sebagai fondasi kokoh dalam kepribadiannya, sehingga melahirkan
sikap tegas membela kebenaran, andhap asor, arif-bijaksana, jujur,
dermawan, zuhud dan lain sebagainya.
Tanda-tanda
Kemenangan kaum sholeh
Sesuai siklus seabad, tahun 2011 ke atas
saatnya kemenangan kaum sholeh! Jika tak terjadi kemenangan, berarti tak ada
orang yang memenuhi standar kesholehan! Standar kesholehan tersebut bisa dibaca
dalam kepribadian Abah Syarif, sehingga selayaknya Alloh SWT memberikan
kemenangan kepada beliau. Artinya kekuasaan di tangan beliau untuk beramar
ma’ruf nahi munkar!
Tanda-tanda
kehadiran Abah Syarif untuk jumeneng noto sekarang ini cukup akurat,
mulai yang bernuansa mistik hingga yang konkrit. Yang bernuansa mistik sesuai Jangka
Jayabaya dan Ronggowarsito, seperti meletusnya gunung Merapi yang laharnya
menuju ke arah barat daya. Yang konkrit, misalnya penguasaan beliau atas ilmu
sekaligus praktek dalam masalah agama, sosial, politik, ekonomi, humaniora,
tatanegara, seni-budaya, diplomasi, pertahanan dan keamanan.
Selain
memiliki ilmu agama yang kuat, Abah Syarif
dikenal akrab dengan para preman. Beliau mengenal betul dunia
premanisme, tanpa larut dalam dunia hitam ini. Beliau juga sebagai penasehat
serikat buruh. Dengan demikian masalah sosial-ekonomi yang berkaitan dengan
perburuhan dapat beliau pahami.
Lantaran sudah
akrab dengan tokoh preman, beliau mampu menghilangkan anggaran jatah preman
dalam manajemen usahanya. Hal ini tentu sebuah penghematan beaya yang besar.
Masalah sosial
lainnya seperti soal gelandangan dan orang gila di jalanan, sudah banyak ia
selami lewat laku. Beliau akrab dengan para gelandangan dan orang gila di
jalanan, bahkan seringkali menjadi media untuk menyembuhkan mereka. Demikian
juga dengan orang-orang yang menjadi korban narkoba.
Dalam masalah
ketatanegaraan Abah Syarif punya pandangan yang ideal. Misalnya, persoalan
otonomi daerah di Indonesia
sekarang ini telah menimbulkan kesenjangan antardaerah. Jika jumeneng noto nanti,
otonomi daerah akan beliau hapuskan. Semua daerah akan diperlakukan sama dan
adil, kendati tak menepis beda-beda panduming dumadi (perbedaan rezeki).
Otonomi daerah akan dihapuskan, karena
menimbulkan kesenjangan maupun pilih kasih. UU Otonomi Daerah telah membuka
peluang bagi oknum-oknum untuk membangun kekuasaan baru serta memegang kendali
atas sumber daya setempat dan dana pemerintah.
Abah
Syarif hendak menghapus otonomi daerah,
tanpa melepaskan kesadarannya akan beda-beda
panduming dumadi antara seseorang
dengan orang lain.
Kerja keras demi nguntungke
wong liya
Selaku
pengusaha, Abah Syarif banyak mengecam kebijaksanaan pemerintah yang
diskriminatif terhadap warganya dalam masalah perbankan. Bank milik pemerintah yang seharusnya milik
rakyat, hanyalah sekadar nama belaka! Sebagian besar warga negara tertentu
berhak mendapat kredit dengan bunga 0 %. Sedang warga negara yang lain mendapat
kredit dengan bunga 1,5-2%.
Baik
mendapatkan kredit maupun tanpa kredit
bank Abah Syarif mampu mengembangkan usahanya dengan hasil yang fantastis,
sehingga bisnisnya mampu menembus pasaran mancanegara.
Jika Abah
Syarif jumeneng noto tentu tak ada diskriminasi terhadap semua elemen
masyarakat. Tentu rakyat yang
mendapatkan pinjaman dibebaskan dari jeratan bunga. Semua berhak
menikmati bunga 0%. Luar biasa!
Abah Syarif
begitu waspada terhadap kapitalisme perbankan dan feodalisme. Beliau hendak
mengangkat wong cilik dari tekanan kapitalis, seperti sopir taksi. Abah
Syarif bukanlah seorang tuan tanah yang feodalistis, tapi pembebas lahan untuk
didayagunakan bagi kepentingan si lemah dan umum, seperti pesantren, sekolahan dan masjid. Hal ini bukan bertujuan mengeruk keuntungan
dari mereka.
Betapa peka rahsa
(posisi diri) dan rasa Abah Syarif
terhadap kondisi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan Indonesia sekarang ini.
Beliau
singkiri konsumsi barang-barang bernilai mahal yang tak penting
bagi orang kaya, seperti membangun rumah mewah.
Jangankan rumah mewah, rumah pribadi pun beliau tak membangun. Padahal
pendapatannya sehari rata-rata 5 juta rupiah. Beliau hanya menyisihkan 100 ribu
rupiah untuk konsumsi keluarganya per hari untuk 2 isteri dan 5 putra
beliau. Rumahnya menjadi satu dengan
bangunan pondok pesantren. Sebaliknya beliau sangat memperhatikan
barang-barang yang bernilai murah yang amat diperlukan si miskin, seperti
beras.
Barang relatif
murah yang tak dibutuhkan orang kaya maupun miskin, seperti rokok, beliau
tinggalkan. Beliau tak merokok. Hal ini sebagai teladan bagi santrinya untuk
tidak merokok.
Beliau sangat
memperhatikan pengadaan barang standar kebutuhan bagi si lemah, meskipun untuk
diri pribadinya bisa di bawah standar. Misalnya
santrinya harus makan beras, sedang pribadinya bisa makan gaplek kalau
perlu. Pesantrennya mendidik para santri untuk siap kerja dengan profesional
dan jujur. Demikianlah prinsip ekonomi, etos kerja dan kaderisasi Abah Syarif.
Dengan menegakkan jiwa agama ini,
semoga kita dapat meluruskan tugas manusia di bumi sebagai khalifah Alloh SWT.
Abah Syarif bertekad keras hendak menjadikan jiwa agama dalam semua sektor
kehidupan berbangsa dan bernegara jika Alloh SWT memberikan kekuasaan kepadanya.
Wahyu sebagai Penggerak
Gerakan Damai
Wahyu dengan
penjabaran Tajdid
(pembaruan) berperan dalam membebaskan umat dari penjajahan para penguasa zhalim,
dengan mencabut akar-akar kezaliman. Singkatnya sebagai penggerak gerakan
damai. Lain dengan peran ideologi
sebagai pembebas semu, seperti kapitalisme dan marxisme.
Demikian juga
agama yang berubah menjadi ritus, sehingga melahirkan feodalisme.
Kapitalisme
termasuk gerakan kemerdekaan terhadap penjajahan kaum feodal di Eropa yang
dipelopori para pengusaha dan teknokrat. Kedua kelompok ini dilindungi
raja-raja feodal yang mengatasnamakan agama. Dengan berhasilnya kapitalisme,
matilah feodalisme. Di sinilah peran ideologi sebagai “gerakan kemerdekaan.”
Demikian juga marxisme, telah menelanjangi kedok kaum kapitalis sebagai
penjajah kaum buruh. Sebaliknya, kapitalisme juga menelanjangi marxisme yang
telah mengekang kebebasan individu untuk berkembang.
Abah
Syarif dan para pemimpin religius lain bukanlah seorang ideolog. Mereka pewaris
para nabi istiqomah, yang tak mungkin menjual ajarannya. Hanya ulama su’
(jelek) yang menjual ajarannya.
Ulama su’
mirip dengan ideolog yang menjual gagasan untuk kepentingan pribadi dan
golongannya, sungguhpun melahirkan tragedi sejarah.
Sebagai
motor penggerak gerakan damai, wahyu menyentuh hablumminAlloh dan hablumminannas. HablumminAlloh berisi
taubat dan taat kepada Alloh SWT. Sedang hablumminannas berarti
menguntungkan orang lain, minimal tidak merugikan orang lain. Di sinilah peran
manusia sebagai kholifah. Wahyu telah mencabut akar-akar kezaliman dalam hati
kholifah sebagai pelaku sejarah.
Seorang
kholifah akan bertindak arif-bijaksana dalam menanamkan nilai-nilai keadilan
kepada umat dan rakyat.
Nasionalisme
Abah Syarif
menggunakan pendekatan seni dan budaya dalam dakwahnya, sebagaimana pendekatan
sebagian wali dulu. Setiap malam Ahad Legi beliau memberikan wejangan dengan
iringan wayang kulit dan gamelan reog. Dalam dakwahnya beliau menyelipkan
sebagian humaniora, seperti teologi, filsafat, ilmu hukum, ilmu sejarah, sastra dan seni. Kemampuannya
ini berkat karomah dari Alloh SWT, karena beliau terus-terang mengaku
tak pernah mengenyam bangku sekolah!
“Bhinneka
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” menjadi tema dalam acara HUT Ponpes
Nurul Huda ke-25. Berbeda-beda (ajaran kepercayaan, suku, bahasa) tapi
tetap (satu), tak ada kebenaran yang mendua. Demikianlah semboyan nasionalisme
dalam arti luas.
“Manusia
adalah umat yang satu…” (QS 2:213).
Maknanya,
fitrah dasar kemanusiaan adalah beribadah kepada Alloh SWT. Oleh karena itu,
Alloh SWT mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan kabar gembira dan
peringatan kepada mereka. Tujuannya, agar mereka mengikuti petunjuk risalah.
Banyak ragam agama, keyakinan dan ritus ibadah, tapi Alloh SWT masih memberi
penghormatan kepada para pemeluknya.
“Tak ada
paksaan untuk memasuki agama Islam…”
“Bagimu
agamamu dan bagiku agamaku…” Toh masing-masing akan
mempertanggungjawabkan amalannya di hadapan Sang Pencipta.
Nasionalisme Indonesia
dirintis HOS Tjokroaminoto pada 1911
dengan wadah Sarekat Islam (SI). SI yang berasaskan Islam ini didirikan setelah
beliau mendapatkan pengajaran “langsung” dari Nabi SAW melalui ruh. Beliau
alumni pesantren. Begitu besar peran pesantren dalam perjuangan menegakkan
negeri ini. SI mewadahi para pendukung dua ideologi di Indonesia , yaitu komunis, dan
nasionalis serta Islam sebagai agama samawi. Banyak tokoh moderat dan radikal
lain yang berasal dari SI. Tokoh-tokoh masyarakat lain yang alumni pesantren,
misalnya K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H.
Ahmad Dahlan.
Seabad sebelum
HOS Tjokroaminoto mendirikan SI, telah muncul seorang mujaddid pada 1811, yaitu Pangeran Diponegoro. Saat inilah beliau jumeneng noto. Beliau diberi gelar Sultan Abdul Hamid Heru Cakra Amirul
Mukminin Sayyidin Panoto gomo Khalifatullah Tanah Jawa. Dengan demikian,
pada 2011 ini tentu Alloh SWT memunculkan seorang mujaddid yang memiliki standar kesholehan sebagaimana melekat pada
pribadi Abah Syarif. Beliau siap berjuang memimpin bangsa dan negara dengan
bingkai nasionalisme.
Sebagian orang
Islam menolak nasionalisme, dengan alasan ia berseberangan dengan Islam yang
bersifat universal.
Jika yang
dimaksud nasionalisme sebagai jembatan menuju Islam yang universal, tentu dapat
diterima. Hal ini berarti upaya pembebasan tanah air dari penjajahan, dengan
ikatan kekeluargaan antarmasyarakat. Nasionalisme yang seperti ini bahkan wajib
diterima, karena Rasulullah SAW juga mencintai tanah airnya lewat ikatan
kekeluargaan antarmasyarakat.
Pandangan ke
depan Abah Syarif tentang hankam (pertahanan dan keamanan) tak hanya
dititikberatkan pada peralatan fisik hankam, tapi juga jiwa. Pendidikan ruhani
dan mentalitas justeru menjadi tulang-punggung hankam, karena peralatan fisik
tanpa didukung mentalitas personil yang mumpuni akan sia-sia. Jangan ada
lagi peluru aparat yang menerjang rakyat dengan sewenang-wenang! Demikian juga
dengan intelijen negara yang lebih cenderung mengorbankan rakyat sekaligus
membela kepentingan asing.
Kharisma
kepemimpinan Abah Syarif memiliki konsekuensi kehebatan untuk berdiplomasi.
Kita songsong
kemerdekaan bangsa yang sejati, dengan hadirnya seorang pemimpin nasionalis, Satrio
Pinandhito Sinisihan Wahyu. Beliau
pemimpin yang menjauhi
kekerasan, sehingga terjadilah gerakan damai sebagai konsekuensi sikap olah rasanya.
Beliau seorang alumni santri yang kini mbahurekso
pesantren. Di awal perjalanan kebangkitan politik Indonesia pada 1911 dirintis alumni
santri. Upaya pencapaian kemerdekaan
bangsa yang sejati pada 2011 ke atas
juga dipelopori pengasuh pesantren dan
santri.
Intaha.
Leres Gusti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar