Kamis, 10 November 2011

Jika Reformasi Dianggap Gagal, Siapa Penyelamat RI ?


Wahyu Keprabon

            Dalam Posmo edisi 646, 12 Oktober 2011 dilansir kabar tentang hilangnya wahyu kraton yang diemban Sultan Hangku Buwono (HB) X. Berikut rangkuman hasil wawancara Posmo dengan Spiritualis Adam Oemaro, SH, mantan Sekjen Petisi 50 di era Presiden Soeharto yang mulai dikenal sejak geger Reformasi 1998.
            Menurut Oemaro wahyu kraton sudah hilang. Alasannya, Babad Ki Ageng Giring menyatakan bahwa Raja Yogyakarta akan sampai Sultan HB IX. Wahyu kraton itu mungkin sudah kembali ke Pengging, ke tangan Putri Pembayun Handayaningrat. Dialah yang paling berhak meneruskan tahta Majapahit dari Prabu Brawijaya V (pamungkas). Saat ini perlu dicari siapa sesungguhnya yang patut ditempatkan sebagai Sinuwun Tanah Jawa. Penulis akan memberikan beberapa catatan tentang keturunan Prabu Brawijaya V yang layak ditempatkan sebagai Sinuwun Tanah Jawa.

Syarif Hidayatulloh Hadiwijoyodiningrat

            Sampai saat ini Nusantara tak lagi memiliki pusat pemerintahan. Oleh karena itu Nusantara harus membangun kraton baru sebagai penyangga budaya, pascaberakhirnya kekuasaan Mataram Baru dengan wafatnya Sultan HB IX dan Sunan PB XII. Untuk itu, Sinuwun Tanah Jawa nanti harus dicari dari garis keturunan Sultan Hadiwijoyo. Dialah yang harus dijadikan sebagai wali negara. Terkait dengan RUU Keistimewaan DIY, menurut Oemaro, 4 kraton yang ada perlu dipertahankan sebagai inspirasi membangun kembali peradaban Nusantara yang adil dan makmur. Keempat kraton tersebut adalah Kesultanan Yogyakarta, Puro Paku Alaman, Kasunanan Surakarta dan Puro Mangkunegaran. Tanda-tanda perubahan itu disinyalir melalui gejolak alam dan manusia pada 2012. Sebab, tahun itu sebagai perlambang surutnya Sultan HB IX dan Sunan PB XII. Tahun 2012 juga merupakan tanda-tanda akhir kekuasaan Satria Pambukaning Gapura (menurut berbagai penafsiran, dijabat SBY), masuk ke era baru Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu.
Abah Syarif Hidayatulloh Hadiwijoyodiningrat, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda, Plosorejo, Gondang, Sragen, Jawa Tengah memiliki kapasitas untuk ditempatkan sebagai Sinuwun Tanah Jawa. Secara genealogis, selayaknya beliau layak ditempatkan sebagai wali negara. Tak hanya ditempatkan sebagai Wali Negari Yogyakarta, tapi beliau Wali Negari RI. Secara moral-spiritual, Abah Syarif sepantasnya ditempatkan sebagai Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu, penyelamat umat dan bangsa Indonesia. Karakternya yang revolusioner tapi sopan, menandakan kemunculannya akan ditandai peristiwa yang agak revolusioner. Dua sisi penyelamatan yang akan dilakukan Abah Syarif. Yaitu, sisi mentalitas umat dan bangsa yang inlander menuju percaya diri. Dengan demikian, selamatlah negara ini dari kebangkrutan. Berkenaan dengan sinyal wahyu keprabon dan kapasitasnya sebagai pemimpin bangsa akan diceritakan salah seorang santrinya.
Tak hanya penuntun untuk kepuasan ruhani yang bersifat pribadi, tapi Sang Guru juga diharapkan menjadi pemimpin umat dan bangsa. Sebab, umat dan bangsa Indonesia sudah jenuh dengan kepemimpinan sekarang yang banyak dinodai berbagai parktik penyimpangan. Mereka membutuhkan kepemimpinan yang bersih dan berorientasi mencari ridha Tuhan.
“Ya Tuhan kami, bebaskan kami dari negeri yang penduduknya telah berbuat aniaya. Angkatlah untuk kami seorang pemimpin dan penolong dari sisi-Mu.” (An-Nisa’: 75).
Sajak tawassul mencari Allah dan Rasul-Nya lewat jalan Sang Guru, Sang Penyelamat.

GURU PENYELAMAT

Ada gugusan rindu membara
Adakah seteguk air yang telah engkau minumkan
Atau sebutir biji yang engkau tanam
Di dalam lubuk hati
Yang lama telah terlupakan
Dan gersang
Adakah setetes air hujan
Menjadikan kembali hidup dan bersemi

 Burung pipit tersenyum
Mengajak lari
Menyambut pagi
Aku bangun
Mencoba melangkah
Tapi kaki sudah kaku

Mentari bersinar cerah
Menembus sekat pintu
Kemudian terbuka
Tapi mata yang terlanjur rabun
Menjadi semakin buram

Kau datang guru Sang Penyelamat
Dalam mimpiku di siang hari
Sinarmu kuat
Menarik tanganku

Kau datang lagi Guru Sang Penyelamat
Dalam mimpiku di siang hari
Bersama pasukanmu
Meratakan jalan
Menyingkirkan rintangan

Aku yang telanjang
Tuli, bisu, buta
Melangkah lemah searah
Membaca isyarahmu

Adakah sinarmu,
Sinari aku?
Adakah kuatmu,
Kuati aku?
Aku bangun lagi
Semakin mendaki

Kau datang lagi Guru Sang Penyelamat
Saat aku rindui
Kini di depanku ada keretamu
Siap membawaku
Menuju maumu

(Digubah dari Ghozali, 2006: V).

Tulisan berikut adalah pengalaman dari seorang santri, yang menceritakan  proses pertemuannya dengan sosok seorang guru yang luar biasa dan boleh dikata tiada duanya. Isi artikel ini juga dapat mewakili banyaknya pertanyaan yang belum terjawab tentang “siapakah sebenarnya Abah Syarif Hidayatulloh Hadiwijoyodiningrat itu?” Artikel ini ditulis oleh Ibu Hj. Siti Afiah, M.Ag. (Bu Wiwik) dalam akun Facebook  dan  saat ini beliau sedang menjabat sebagai Kepala Sekolah MAN 1 Sragen. Selanjutnya silakan pembaca menikmati isi dari artikel yang sangat menarik berikut ini.


SANG GURU (1)
AKU mengenal sosoknya melalui proses yang panjang. Tahun 1987 aku mendengar namanya disebut oleh seorang muridku di madrasah aliyah sebagai pemuda yang pemberani melawan kemaksiatan. Tahun 90-an aku mendengar cerita tentangnya dari bapak dan kakakku almarhum. Bapak menghadiri undangan ulang tahun pondoknya lalu bercerita dengan decak kagum. “Sebenarnya dia itu orang apa ya? kok dia bisa mengundang pak Try Sutrisno segala… belum lagi suguhannya bagus begitu, seperti suguhan  hotel di Jakarta. Meja makannya, piringnya bahkan makanannya juga…”  Aku tidak memberi respon apapun atas cerita itu. Tahun 1995 setelah aku pindah kerja dari madrasah aliyah ke kantor kabupaten pernah 3 kali ditegur oleh pria yang sama saat pulang kerja. Biasanya dia berdiri di bawah pohon sawo yang rindang di halaman kantor.  Dengan bahasa Jawa yang halus dia mengucapkan salam padaku.” Assalaamu’alaikum Bu Nyai” atau ”Kondur Bu Nyai…” Lalu aku menjawabnya dengan sekedarnya sambil mengangguk dan tersenyum. Sebenarnya aku risih dengan panggilan “nyai” yang dia ucapkan tapi karena belum kenal maka kubiarkan panggilan itu terdengar. Ketika sampai pada kali ketiga aku penasaran dan bertanya kepada teman sekantor… Ternyata dia adalah Sang Guru yang namanya sudah lama kukenal.
Tahun 1996 di kantin kantor aku menyeruput kopi panas sambil makan ubi goreng pada jam istirahat,  entah lewat mana dia sudah duduk beberapa meter di sisiku dan berbaur dengan teman-teman yang lain. Dia tanya padaku dengan bahasa Jawa yg artinya, ”Bu Wiwik apa pengin jadi anggota dewan dari Golkar?…”Aku yang tidak menduga ada pertanyaan itu langsung menjawab, ”Saya kok jadi anggota dewan.. doakan saja khusnul khotimah…”
”Wah, kalau yang itu kelas berat,” sahut Sang Guru.
 ” Ya, justru yang berat itu saya minta didoakan.. kalau yang ringan biar saya cari sendiri…”  Obrolan singkat itu lalu terlupakan.
Beberapa tahun kemudian aku sering mengunjungi pondoknya karena dia mendirikan TK Islam dan madrasah ibtidaiyah yg menjadi tanggung jawabku di kantor.
Tahun 2002, di hari Sabtu aku pengin keluar rumah tapi belum tahu mau ke mana. Dengan pertimbangan akan melihat kegiatan madrasah, aku menuju pondoknya. Dia ada di teras masjid sedang memberi komando beberapa santri yang sedang melakukan sesuatu. Di dalam masjid aku melihat beberapa wanita duduk berkeliling dan menyimak bacaan Qur’an. “Ada acara apa itu Pak Kyai?”
”Semaan Qur’an” jawab Sang Guru,”Kalau Bu Wiwik mau, tak (saya) bantu ngadakan acara semaan Qur’an keliling ke madrasah di kabupaten Sragen. Malamnya tak panggilkan mubaligh untuk pengajian akbar.”  Wah, aku langsung antusias dan semangat menerima tawarannya. ”Baik Pak Kyai, kebetulan hari Senin ada rapat kepala MI nanti kita bahas.”
Bulan Mei tahun 2002 mulailah semaan Qur’an keliling dari satu MI ke MI lainnya setiap bulan sekali. Atau tepatnya tiap 5 minggu sekali. Jadwalnya Minggu Paing. Hingga sekarang semaan masih berlanjut. Hanya saja tidak lagi berkeliling ke MI seperti semula melainkan menetap di Madrasah Aliyah karena dari kantor Kabupaten aku dikembalikan ke Madrasah Aliyah sebagai kepala madrasah.
SANG GURU (2)
Setelah kegiatan semaan keliling itu berjalan, intensitasku datang ke pondok dan pertemuanku dengan Sang Guru semakin tinggi. Aku merasa beruntung  karena keinginanku untuk tabayyun dengan Sang Guru akan terlaksana. Banyak hal yang ingin aku konfirmasikan dengannya karena banyak rumor dan isu yang menggelitik hatiku. Aku merasa tidak adil jika  info itu kuterima  begitu saja tanpa membuktikannya lebih dahulu.  Banyak orang bilang “dia itu nggak sholat, nggak bisa ngaji, menggunakan kekuatan majik, berlaku  musyrik, buta huruf,  seneng mengumpat dan berkata kasar, tidak pernah pakai alas kaki, tidak pernah mengenakan baju koko dan jubah sebagaimana pimpinan pondok atau kyai yang lain.
Mulailah aku memanfaatkan kedekatanku dengan istrinya yang hafal Al-Qur’an. Dia, wanita 21 tahun berwajah bulat dan cantik dengan kulit putih yang selalu tersenyum ketika menjawab pertanyaanku. Ketika kutanya, bagaimana dia bisa diperisteri oleh Sang Guru. Dengan tersipu dia menjawab, “Begitulah takdir.”  Ia anak kedua dari 7 bersaudara dari keluarga tani biasa. Sejak kecil ia ngaji hafalan Qur’an di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Demak. Orangtuanya tidak pernah mengajarinya bekerja. Bahkan untuk belanja ke pasar pun ia tidak bisa melakukannya. Tugasnya hanya menghafal Al-Qur’an. Ketika sudah khatam dan hafal 30 juz, pimpinan pondok memintanya membantu mengajar  hafalan Qur’an untuk santri yuniornya. Ia jalani tugas itu dengan baik. Waktu terus berjalan dan ia sempat dilamar beberapa pria yang ingin menikahinya. Ada guru agama, ada  pegawai kantor, ada juga beberapa kyai muda.  Belum satu pun  yang berkenan di hati. Hingga suatu hari ia dipanggil oleh pimpinan pondok dan dipertemukan dengan Sang Guru. Setelah berlangsung pembicaraan beberapa saat, ia menerima pinangan itu. Tidak lama kemudian orangtuanya dipanggil ke pondok dan berlangsunglah pernikahan sirri. Setelah itu Sang Guru pulang ke Sragen. Dua hari kemudian, Sang Guru bersama istri pertama dan 3 orang wanita pendamping menjemput gadis itu untuk diboyong ke pondok pesantren di Sragen.
Seolah tahu apa yang aku inginkan, dia mengajakku keliling bangunan pondok. Formasi bangunan ini terpusat pada masjid yang berada di dalam kompleks. Baru di sekelilingnya berdiri membujur dari utara ke selatan, dari timur ke barat yang kesemuanya menyatu dan hanya dipisahkan oleh pintu gerbang tanpa daun pintu. Tampaknya Sang Guru tidak suka pada bentuk-bentuk rekayasa modernitas. Semua bangunan menggunakan bahan alami baik dinding, lantai maupun atapnya. Lantai terbuat dari semen namun tebal dan halus. Dindingnya entah berapa bata hingga kelihatan tebal dan kokoh. Atap dan dempel pintu/ jendela terbuat dari kayu jati asli yang dia tebang langsung dari hutan. Dia pillih sendiri mana pohon yang sudah siap ditebang, lalu direndam di kolam besar selama 2 bulan. Maka kalau kita perhatikan kayu-kayu jati yang terpakai pada bangunan pondok ini kita akan berkesimpulan bahwa Sang Guru lebih mengutamakan kesempurnaan dan  kekuatan bukan keindahan yang direkayasa. Gambaran ini terlihat terutama jika kita berada di dalam masjid. Dari bawah akan kita lihat genteng berkualitas prima  yang bertengger di atas barisan kayu jati yang teksturnya padat tak bercacat. Sebagaimana pintu gerbang tak berdaun pintu, demikian juga pintu dan jendela masjid. Tak ada daun pintu atau daun jendela yang melekat di sana. Kesannya seperti bangunan yang belum jadi, tetapi begitulah adanya. Bagi Sang Guru,   masjid bukanlah tempat yang harus dibuka-tutup. Masjid harus selalu terbuka kapan saja dan untuk siapa saja. Konsep pembangunan masjid ini juga didasarkan pada perhitungan tertentu yang mengacu pada nilai-nilai Islami. Bangunan masjid ini luasnya 20 x 25 meter persegi. 20 dari bilangan sifat Allah sedangkan 25 dari bilangan jumlah Rasul Allah. Ada 9 kran tempat wudlu di sebelah utara masjid yang menggambarkan Wali Sembilan. Sedangkan di sebelah selatan masjid ada 17 kran untuk wudlu wanita. Angka ini adalah jumlah rokaat sholat wajib sehari semalam.
Setelah selesai  keliling lokasi pondok aku bertanya di ruang mana Sang Guru tidur. Lalu dia  menunjuk 2 kamar besar tempat Sang Guru beristirahat bersama  istri pertama dan 5 orang putra putrinya. Bergeser 50 meter ke arah utara, di situlah dia mengajakku masuk. “Inilah kamar saya bersama beliau,” katanya. Ukuran 4 x 5 meter persegi dengan kualitas bangunan seperti yang lainnya. Ada rasa perih yang menggigit hatiku. Dalam kamar itu tidak ada lemari atau tempat tidur apalagi meja rias seperti kebanyakan wanita.  Di lantai terhampar selembar tikar dari mendong (batang padi) sekitar 2×3 meter yang di atasnya ada sebuah bantal. Di sebelah tikar ada sebidang kasur dari kapuk yang tidak terlalu tebal. “Beliau tidur di tikar dan saya di kasur ini.” Lalu kardus-kardus yang bertumpuk itu apa? tanyaku. “Itu tempat menyimpan baju-baju kami.”
Hatiku teraduk-aduk dan mulutku tersekat. Aku tidak mampu lagi menyusun kalimat untuk mengajukan pertanyaan apapun.
SANG GURU (3)
AKU belum sempat tabayyun tentang info kontroversial yang telah kusiapkan sejak awal, tetapi aku sudah menemukan fakta lapangan yang setidaknya bisa membantu memberiku jawaban. Bagaimana orang bisa mengatakan dia tidak sholat sedang aku menyaksikan dia mendirikan masjid dengan dasar spirit yang Islami? Memang aku belum pernah melihat dia sholat di masjid, tetapi cukupkah hal itu menjadi alasan untuk menyebutnya tidak sholat? Bisa saja dia sholat di dalam kamar atau di tempat pribadi yang orang lain tidak tahu. Soal majik, bagaimana aku bisa bertanya kalau aku sendiri sudah keliling setiap ruangan dan tidak menemukan sesuatu pun yang mencurigakan. Sampai ke dapur, ke kamar mandi baik kamar mandi santri maupun kamar mandi Sang Guru. Di mana letak majiknya ya?  Bahkan ketika Keraton Kasunanan Surakarta mengalami musibah dengan meninggalnya Sinuwun Pakubuwono XII lalu terjadi perebutan posisi pengganti Sinuwun, keris-keris pusaka keraton dititipkan kepada Sang Guru dan disimpan dalam  2 buah kardus besar. Melihat kumpulan keris yang teronggok di sudut ruang tengah aku sempat bertanya, ” Ini apa Guru?” Dia jawab, “Itu kan gara-gara Bapaknya meninggal terus anak-anaknya bertengkar berebut kedudukan, untuk sementara mereka titipkan di sini. Kerisnya anteng di sini, padahal katanya dia bisa jalan kemana-mana.” Beberapa saat aku terhenyak, hatiku bertanya, pertama: dia itu orang yang seperti apa ya, kok keris keraton saja dititipkan di sini? Kedua, pandangannya yang realistis terhadap keris membuatku berpikir balik, bagaimana dia bisa dikatakan menggunakan kekuatan majik?
Pemikiran yang rasional dan realistis juga aku temukan pada peristiwa lain.
Saat itu di kantorku (sebuah instansi tingkat kabupaten) mengalami kehilangan uang yang disimpan di brankas. Uang itu adalah uang yayasan kesejahteraan pegawai. Kejadiannya sampai 3 kali dan jumlah nominalnya hingga 60 juta rupiah. Tentu saja kejadian  ini menimbulkan suasana heboh di kantor. Ada yang usul lapor polisi. Yang lain melarang dengan alasan persoalannya bisa tambah panjang, banyak urusan dan bisa-bisa malah membuka aib sendiri. Aku mengusulkan untuk konsultasi saja kepada Sang Guru, juga ditolak. Mereka meragukan kemampuan Sang Guru. Akhirnya ditempuhlah jalan alternatif, konsultasi kepada seorang kyai yang dikenal pendai mencari barang hilang.
Ada tim yang dikirim kepada kyai yang tinggal di wilayah Salatiga. Aku, walaupun bukan anggota tim boleh ikut ke sana. Aku hanya ingin tahu bagaimana cara kerjanya. Sesampai di sana kami dipersilakan masuk ke sebuah ruangan ukuran 2×3 meter persegi. Di sudut ruangan sudah tersedia lampu minyak (teplok), telur ayam jawa dan minyak kelapa asli. Beberapa menit kyai melakukan ritual tertentu sedang kami bertiga “mengheningkankan cipta”. Selesai ritual beliau menyerahkan telur ayam jawa yang sudah diolesi minyak kelapa kepada kami. Lalu kami disuruh melihat foto siapa yang ada di dalam telur itu, dialah pencurinya.
Mungkin tidak akan menjadi persoalan jika yang hadir dan melihat foto itu hanya seorang diri. Dan karena kami datang bertiga maka ada 3 penafsiran. Kami berbeda pendapat. Yang satu mengatakan itu foto si A. Kebetulan  si A sudah lama tidak datang ke kantor dan konon pergi ke Kalimantan jualan batik. “Modalnya dari mana, coba.” Yang satu lagi bilang itu foto si B. Si B adalah pegawai swasta, suami dari pegawai perempuan di kantor kami. “Dia kan baru saja kena PHK?” Dan yang ketiga mengatakan itu foto si C. Si C adalah pegawai senior yang hampir pensiun, punya 2 istri dan 11 anak.
“Barangkali dia bingung bagaimana menghidupi keluarganya kalau sudah pensiun…”  Dalam hal ini kyai tadi tidak bisa ikut berpendapat. Sepenuhnya diserahkan kepada kami. Dan hasilnya, 0 besar. Kami tidak mencapai kesepakatan.
Setelah gagal usaha itu, diam-diam tim bekerja mencari kyai yang lain. Aku tidak diajak karena memang aku bukan anggota tim. Aku baru tahu setelah diumumkan bahwa hari Jum’at jam 9 pagi semua pegawai kumpul di musolla untuk mengikuti ritual pencarian uang hilang. Ternyata kyainya dari Sragen saja dan aku mengenal namanya. Cara yang dipergunakan adalah dengan minum air putih yang sudah didoakan oleh kyai.
Aku tidak sabar melihat cara kerja tim yang serba irrasional. Aku menghadap Sang Guru dan hanya bercerita tentang situasi kantor akhir-akhir ini. Dia tertawa sambil menyentil eksistensi kami sebagai pegawai negeri dengan kompetensi pemikiran yang tinggi dan Muslim pula tetapi masih mau menggunakan  cara yang tidak nalar. ”Jangan mau minum Bu Wiwik… Katakan, aku tidak mencuri tapi aku nggak mau minum,” kata Sang Guru,”seharusnya lapor polisi saja, biar mereka yang menyelidiki. Sekalian bisa jadi  pelajaran untuk semua pegawai.”
“Nomor hapenya pak kyai berapa?” tanya Sang Guru padaku. Setelah kembali ke kantor aku menemukan nomor itu lalu kukirim kepada Sang Guru.
Pada hari H jam 8 pagi berangkatlah tim itu menjemput pak kyai. Saat mereka datang pak kyai sedang sholat dluha. Lalu mereka menunggu di ruang tamu. Tidak lama kemudian dengan tergopoh-gopoh pak kyai menemui tim sambil menunjukkan hapenya dan berkata, ” Ini dia pencurinya sudah ngaku…” Dengan mata terbelalak karena terkejut anggota tim menyambut pak kyai lalu mencoba ikut membaca isi sms di hape pak kyai. Dibacanya dengan cermat isi sms itu lalu seorang anggota tim angkat bicara,”Pak kyai, ini bukan pengakuan, coba kita baca bersama.”
Sms itu berbunyi ”jare arep omben-omben neng kantor… Iki lho aku duwe banyu bening, ombenen…” (katanya mau minum-minum di kantor. Ini aku punya air jernih, silakan minum…).
Untuk kedua kalinya pencarian pencuri dengan cara alternatif itu gagal. Selanjutnya aku tidak pernah tahu bagaimana kehilangan uang itu diselesaikan.
Sebenarnya sejak pertama aku mengadakan Semaan Qur’an, aku sudah mendapatkan pelajaran yang berbeda dari Sang Guru dibanding para kyai lain yang pernah kutemukan.
Ceritanya, ketika selesai semaan Qur’an yang pertama kali kuselenggarakan di sebuah madrasah di Kecamatan Sumberlawang (20 km dari kota Sragen)  aku mengantarnya kembali ke pondok. Sesampai di pondok aku menyerahkan sejumlah amplop (tentu saja berisi uang) sebagai ucapan terimakasih. Isi amplop sudah aku bedakan antara istri Sang Guru dan pengikutnya yang jumlahnya sekitar 10 orang. Istri Sang Guru agak malu-malu menerima pemberianku, sedang para santri menerimanya dengan wajah datar. Setelah itu aku berpamitan  pulang.
Di luar dugaan, Sang Guru sudah menungguku di pintu gerbang. Dengan bahasa Jawa campuran kromo dan ngoko. Dia minta padaku supaya lain waktu jangan memberi uang. Cukup diantarjemput saja. Sudah menjadi tugasnya untuk mengamalkan kemampuannya menghafal Al-Qur’an. Ilmunya harus bermanfaat, bukan memanfaatkan ilmu. Dan sebaris kalimat yang tak pernah kulupakan hingga sekarang adalah ”jangan ajari istri dan santriku untuk menjadi burung gagak pemakan bangkai.” Duhh…
SANG GURU (4)
SETELAH tersimpan cukup lama, akhirnya pertanyaan itu lepas juga dari mulutku.
Saat itu kami berdua bercakap-cakap di ruang tamu. Tetapi sebelum masuk ke pertanyaanku, baiknya aku cerita dulu tentang ruangan ini. Di ruang ini ada seperangkat meja kursi yang terbuat dari batang pohon jati yang dipotong sedemikian rupa hingga membentuk meja dan kursi. Asli, tanpa plitur, hanya diamril saja sehingga serat dan tekstur kayu jati itu masih tampak dengan jelas. Uniknya, ada satu kursi yang sandarannya sangat tinggi dan lebar. Aku mengira kursi yang ini pasti dari batang pohon yang berdiameter sekitar 2 atau 3 meter sehingga tempat duduknya bisa menampung 3 orang. Aku sering melihat tamu-tamu berpose di kursi itu. Di sebelah kiri kursi itu ada seekor “harimau” yang berdiri gagah menghadap ke utara. Aku tidak tahu dari mana dan  bagaimana harimau itu bisa berdiri di situ. Di belakang kursi besar ada dinding anyaman bambu kulitan yang menjadi penyekat antara ruang tamu dengan ruang tengah. Ada pintu kecil yang menghubungkan kedua ruang itu.  Baik ruang tamu maupun ruang tengah berlantai tanah. Kalau di ruang tamu disediakan kursi, maka di ruang tengah disediakan hamparan anyaman bambu kulitan untuk lesehan. Pekerjaan menganyam bambu dilakukan di tempat. Di ruang ini Sang Guru biasa menjamu makan tamu-tamunya. Beberapa tamu yang pernah kulihat hadir di ruangan ini antara lain  Akbar Tanjung,  Adi Sasono,  Prof Subur Budi Santosa (Wantimpres, pendiri Demokrat), Prof Damarjati Supajar, dosen filsafat UGM, pengamat ekonomi Faisal Basri dan yang terakhir berkunjung sekitar 2 bulan yang lalu adalah Iwan Fals dan Sastro Blangkon (dulu asisten pribadinya Gus Dur).
Kembali ke pertanyaanku. Saat itu aku bertanya kepada Sang Guru, kenapa pakaiannya selalu standard, celana panjang kaos oblong?  Sama sekali tidak mencerminkan seorang pimpinan pondok pesantren. Sarung, hem dan peci hanya dikenakan saat menyampaikan  pengajian di masjid 2 kali dalam 5 minggu yang dalam bahasa Jawa disebut selapan dina. Bahkan saat ulang tahun pondok yang diselenggarakan setiap  malam Minggu Legi bulan Muharam Sang Guru mengenakan sarung dan  peci tetapi atasannya hanya kaos oblong lalu selembar sarung yang lain dikalungkan di leher. Baju koko yang kian hari kian modis justru tak pernah disentuhnya. Orang yang baru pertama kali mengenal Sang Guru pasti kecele karena mengira Sang Guru adalah sosok tua, bersarung dan berjubah. Ini pula yang aku usulkan  kepada Sang Guru kenapa tidak berbusana seperti umumnya pimpinan pondok pesantren atau kyai lainnya.
Sang Guru menjawab, ”Aku ini bukan kyai, Bu Wiwik. Aku adalah pelayan bagi siapa yang membutuhkan. Ibarat sopir bis, aku ini sopir bis umum, tidak pernah membedakan asal usul penumpang, siapapun boleh naik, syukur-syukur sampai tujuan, kalau mau turun di jalan.. ya , itu urusan dia.”
Mendengar jawaban ini, aku tidak tahu harus merespon dengan kalimat apa… Aku hanya mengangguk dan bergumam  untuk diriku sendiri. “Iya.. iya.. iya…” Begitu seterusnya hingga Sang Guru selesai bicara.
Penjelasan yang juga masih kuingat adalah ”kalau aku pakai baju koko, duduk bersila di ruang tertutup pegang tasbih, apa mungkin “orang-orang kotor” itu berani  mendekatiku? Siapa yang akan merawat mereka? Padahal mereka juga membutuhkan tempat berteduh dari lelahnya menjalani hidup.
Rasanya aku ingin menangis mendengar kalimat ini karena aku belum pernah mendengarnya dari orang lain, bahkan dari seorang kyai sekali pun.
Pada pengajian berikutnya, seolah ingin memperjelas keterangan yang pernah disampaikan kepadaku, materi tentang busana itu dibahas kembali. Bahkan pada pidato ulang tahun pondok yang ke-20 di tahun 2006, di mana pesertanya ada ribuan orang, materi itu diungkap kembali. Kalimat Sang Guru antara lain, ”Aku mempertahankan pakaian yang seperti ini karena aku lebih mementingkan isi jiwaku. Sebagai hamba Allah, jiwaku, ruhku hanya terikat pada-Nya. Setiap saat, setiap detik, waktuku aku harus taat dan taubat pada-Nya. Itulah hablumminAllah. Sedangkan hablum minannas, ragaku haruslah memberi manfaat kepada sesama. Apa artinya memakai jubah kalau jiwa dan ruhnya tidak menuju ke SANA? Aku berjanji di hadapan Allah, jika hatiku, jiwaku, ruhku tidak terus bergantung kepada-Mu, tidak terus menyebut nama-MU, atau berhenti sedetik saja untuk-MU, maka matikan saja aku ya Allah, yang dalam bahasa Jawa beliau ucapkan dengan ”Panjenengan pejahi kemawon kula  Gusti…” Dan aku benar-benar menangis karena degup jantungku menyentuh jiwaku yang paling dalam.
Dan dari perjalananku selanjutnya aku menemukan beberapa kejadian yang membuatku meyakini bahwa penjelasannya itu bukanlah omong kosong.
Suatu hari aku melihat seorang pria dari Kecamatan Mondokan, sekitar 15 km dari kota Sragen datang kepada Sang Guru dan melaporkan bahwa sapinya hilang. Untuk menolong lelaki itu, Sang Guru minta agar istrinya menulis surat untuk danramil setempat. Isi surat itu  ditulis dengan bahasa Jawa kromo, “Katur danramil Mondokan. Kula, kawula alit saking Plosorejo Gondang ngaturi pirsa bilih setunggaling wargo panjenengan kecalan sapi. Nyuwun tulung supados dipun rencangi madosi wonten sekitar dusun mriku. Atas kesaenan panjenengan mugi Gusti Allah paring kesaenan ingkang  kathah dateng panjenengan”              (Kepada danramil Mondokan. Saya, orang kecil dari Plosorejo Gondang memberitahukan bahwa ada warga Mondokan yang kehilangan sapi. Tolong dibantu mencari di sekitar kampung itu. Atas kebaikan hati Anda, semoga Allah membalas dengan kebaikan yang banyak). Surat dilipat lalu dimasukkan amplop, diserahlkan kepada pria itu untuk kemudian dikirim kepada Komandan Koramil Mondokan.
Aku tidak tahu berapa lama proses pencarian itu, yang jelas pria itu datang kembali kepada Sang Guru dan melaporkan bahwa sapinya sudah ketemu.
Kejadian yang lain aku saksikan juga di ruang tamu ini. Saat itu aku bersama seorang teman sedang menghadap Sang Guru. Tidak lama kemudian ada 3 orang pria bertubuh kekar memanggil nama Sang Guru dengan nada berteriak tetapi suaranya parau.  Matanya juga kelihatan  merah. Aku menduga mereka baru saja mabuk. Sang Guru segera berdiri menyambut kedatangannya. Aku melihat pemandangan yang “aneh dan asing”. Ketiga orang itu mengerubuti Sang Guru menyalami dan menciumi tangannya terus berlanjut mencium lutut hingga ke ujung kakinya. Sang Guru mengangkat tubuh ketiga pria itu lalu mendudukkannya di kursi. Sang Guru memintaku masuk ke ruang tengah. Aku mentaatinya. Aku tidak tahu isi pembicaraan mereka. 10 menit kemudian mereka pulang dan aku diminta kembali ke ruang tamu.
Kejadian lain kutemui saat Sang Guru mengawali pembangunan masjid di Jalan Raya Sragen-Ngawi Km 7 sekitar tahun 2007. Di lokasi itu setahun sebelumnya Sang Guru mendirikan Rumah Makan dengan nama “Yu Sri” , cabang dari “RM Pecel Yu Sri” Simpang Lima Semarang. Pemilik Rumah Makan ini memang biasa mengaji kepada Sang Guru.
Dalam waktu setahun tanah di lokasi itu meluas hingga beberapa ratus meter ke belakang. Ternyata Sang Guru memang berencana mendirikan masjid di belakang rumah makan. Persiapannya cukup lama. Tanah calon masjid itu ditirakati oleh beberapa orang pilihan dalam waktu tertentu. Tirakatnya berupa, tidur di atas tikar tepat di tengah-tengah calon bangunan masjid, dipergunakan untuk sholat tahajud dan untuk berdzikir kepada Allah. Bagi yang sudah pernah mendapat tugas seperti itu, mereka akan bercerita dengan bangga tentang pengalamannya diterpa angin malam, tentang dzikirnya yang mengharu biru atau tentang tahajudnya yang membuatnya serasa terbang ke awan. Pas bulan Rojab dimulailah pembangunan masjid itu. Namun sebelum penggalian tanah untuk fondasi dimulai,  pada hari Jum’at Paing setelah malamnya mengaji, ba’da subuh ada ritual dzikir LAA ILAAHA ILLA ALLAH sambil mengelilingi calon lokasi masjid. Acara ini langsung dipimpin Sang Guru diikuti keluarganya dan para santrinya.
Jam 06.30 acara ini selesai dan aku mohon pamit karena harus segera ke kantor. Oleh Sang Guru aku “dititipi” seseorang untuk numpang di mobilku hingga ke terminal Pilangsari. Kupersilakan dia duduk di belakang sementara aku pegang setir di depan. Dia, pria sekitar 40 tahun tinggi besar, rambutnya ikal dengan wajah yang terkesan kotor. Bajunya pun warna hitam sehingga secara keseluruhan mengesankan  kesedihan dan kehinaan. Dalam perjalanan yang hanya 4 km, kami ngobrol banyak. Dari obrolan itu aku mendengar bahwa dia asli dari Purwodadi. Mengenal Sang Guru sekitar 2 tahun yang lalu saat dia ingin melakukan pertaubatan setelah sepanjang hidupnya diisi dengan berbagai macam kemaksiatan. Saat itu dorongannya sangat kuat untuk bertaubat. Dia lelah menjalani kehidupan seperti yang selama ini dia jalani. Suatu malam dia datang ke sebuah masjid lalu duduk di tempat yang agak tersembunyi. Dia tidak tahu bagaimana caranya mengawali masuk masjid. Dia terus saja  mengikuti ceramah yang sedang disampaikan oleh kyai  di masjid itu. Tetapi ketika materinya menyangkut pelaku maksiat dan hanya neraka tempatnya, dia menangis sedih. Sedih sekali. Dalam hati dia bertanya, apakah tidak ada tempat kembali bagi kami yang tersesat? Dia membatalkan diri masuk masjid. Berdiri di pinggir jalan tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Saat itulah ada mobil berhenti di hadapannya lalu salah satu penumpang bertanya, “Mau ke mana?” Sebelum sempat menjawab, penumpang mobil itu segera melontarkan ajakan ” ayo ikut saya….” . Dia tidak punya pikiran apapun selain mengikuti ajakannya. Ternyata penumpang mobil itu adalah Sang Guru. Dia dibawa ke masjid Sang Guru, disuruhnya dia mandi keramas, ganti baju lalu diajari bertaubat dan melakukan sholat. Setelah beberapa hari di pondok dia diminta pulang dengan sebuah pesan untuk menjalani kehidupan dengan cara lebih baik. Karena dia hanya punya keterampilan terapi pijat maka dia hidup dari pekerjaan itu. Itupun, dia tidak boleh menyebut besarnya bayaran yang dia inginkan, bahkan kalau ada bayaran yang dirasa terlalu besar, dia harus ikhlas mengembalikannya. Prinsipnya, dia harus lebih banyak menolong orang daripada mencari uang.
Semalam dia dipanggil Sang Guru untuk melakukan terapi pijat karena Sang Guru kelelahan. Dan pagi ini diikutsertakan dalam proses pembangunan masjid. ”Jadi, kalau ketemu Sang Guru saya tidak bisa berbuat apapun kecuali menangis. Apalagi kalau Sang Guru melantunkan tahlil seperti tadi pagi.., tidak ada yang saya inginkan kecuali menangis. Saya bersyukur sudah diantar bertaubat dan menjalani kehidupan yang lebih baik”
Aku melepasnya turun di depan terminal Pilangsari dengan penuh rasa empati. Wajah Sang Guru terbayang di mataku. Aku akan terus mengikutimu, kataku.
SANG GURU (5)
MASJID. Itulah satu kata yang secara maknawi membuat Sang Guru tak pernah berhenti bekerja dan berkarya. Selesai membangun satu masjid, membangun lagi masjid di tempat yang lainnya. Kondisi ini sejalan dengan materi pelajaran yang selalu disampaikan pada saat pengajian. Tugas hidup manusia ada 2. Masuknya nafas, hablumminallah – taat dan taubat. Keluarnya nafas, hablumminannaas – badan/raga menguntungkan orang lain. Laku utomo….nguntungake wong liyo… Dengan kata lain, hidup ini akan bermakna jika tidak untuk diri sendiri melainkan untuk kebersamaan, untuk sesama makhluk Tuhan. Maka sering juga di tengah pagelaran wayang Sang Guru nembang ”ngrogoh kanthong dikekke uwong” sambil tangannya memperagakan makna syair itu. Seketika itu irama gamelan berubah mengiringi gaya Sang Guru lalu diikuti seluruh santri yang hadir. Semua gembira, semua bahagia. Aku sangat menikmati tembang ini. Gongnya yang menggelegar seolah memukul hati dan menyemangati jiwaku untuk terus berusaha “ngrogoh kanthong dikekke uwong”… Aku tahu, dengan cara ini sebenarnya Sang Guru ingin membebaskan para santri dari belenggu keterikatan jiwa dan ruh mereka dengan makhluq lainnya sehingga lebih mudah “naik ke atas”…Aku jadi ingat, bedug yang berada di masjid pondok itu  bertuliskan “KYAI UTOMO” .
Dalam sebuah acara di pondok pesantren aku duduk berdampingan dengan seorang ibu seumuran denganku. Kami ngobrol banyak. Dia asli Bantul punya 3 anak kandung dan 2 anak angkat. Salah satu anak angkatnya ikut bersamanya ke pondok ini. ” Itu..!”, dia menunjuk seorang pria muda berbaju batik, berpeci yang sedang bercakap-cakap dengan Sang Guru. Dia sudah beristri dan punya 3 anak. Dia seorang insinyur teknil sipil dari sebuah perguruan tinggi di Yogya. ”Waktu Sang Guru membangun masjid di Bantul, anak saya yang dipasrahi untuk ngurus dan ngawasi…”
Dari situ aku tahu Sang Guru membangun masjid di Bantul. Sayang aku lupa bertanya nama dan lokasi masjidnya.
Di Boyolali, dari terminal sekitar 200 m arah ke Semarang di sebelah kanan jalan,  ada masjid bernama Masjid Bani Adam. Itu masjiidnya Sang Guru. Mengapa namanya Bani Adam? Unik. Tidak seperti nama-nama masjid pada umumnya yang mengarah pada sebuah harapan seperti At-Taqwa, Baiturrohim, Al-Falah, dan sebagainya. ” Begitulah Sang Guru memberi nama pada masjid itu…” Tetapi jika dikaitkan dengan filosofi kehidupan Sang Guru yang bebas dan merdeka dalam arti yang sebenarnya, maka Bani Adam mengandung makna yang universal, tidak ada pengkotakan manusia sebagai makhluk Tuhan, tidak ada sekat-sekat yang membuat umat Islam terpisah satu sama lain. Hanya ada satu predikat untuk mereka yaitu sama-sama sebagai hamba Allah Azza wa jalla.
Di Palur ada juga masjid Sang Guru. Jika kita jalan dari Sragen ke Solo lewat ringroad Palur, tengoklah sebelah kanan jalan sekitar 1 km dari belokan bangjo ada masjid yang lokasinya agak menjorok ke bawah. Cat warna putih dengan kombinasi warna biru muda, bertingkat, namanya Ar-Rohim. Aku beberapa kali singgah dan sholat di masjid itu bersama Sang Guru dan istrinya. Penjaga masjid itu pasangan  suami istri yang masih muda. Kecuali menjaga masjid, mereka juga membuka warung kecil sekedar melayani  kebutuhan pengunjung untuk membersihkan diri seperti sikat gigi, sabun mandi, handuk kecil, sendal jepit dan sejenisnya. Pasangan  penjaga masjid ini sangat tawaddu. Terbukti ketika kami datang, dengan cepat mereka menyambut kedatangan kami dan melakukan salam ta’dzim  kepada Sang Guru dan istrinya. Aku melihatnya dengan suka cita…
Sementara hanya 3 masjid itu yang aku bisa ceritakan karena aku mendengar dan melihatnya sendiri. Tetapi ada juga info bahwa Sang Guru mendirikan masjid di wilayah Kabupaten Klaten. Sayang aku  belum punya data yang lengkap untuk menuliskannya. Ada juga info bahwa Sang Guru  punya  masjid dan pondok pesantren  di Lampung. Temanku, Ir Sunarmasto MT, seorang dosen teknik sipil di UNS Surakarta, pernah diajak Sang Guru ke sana. Dia menyaksikan betapa para santri  sangat menghormati sekaligus mencintai Sang Guru. Dia tidak bisa mengungkapkan rasa kagum dan hormatnya kepada Sang Guru. Dia hanya bisa menangis terharu menyaksikan kedekatan para santri dengan Sang Guru. Kunjungan Sang Guru  yang hanya semalam membuat banyak santri dari daerah lain sekitar Lampung yang kecewa karena tidak sempat bertemu.
Masjid yang paling aku ketahui dan aku ikuti proses pembangunannya adakah masjid di Desa Lemahabang, Sambungmacan, 7 km dari Sragen kota ke arah timur. Sebagaimana masjid yang ada di lokasi pondok, masjid ini juga tidak punya nama. Kalau masjid yang di pondok menyatu dengan Pondok Pesantren Nurul Huda, masjid yang di Lemahbang ini menyatu dengan Rumah Makan Nurul Huda. Nama ” YU SRI” sudah diganti.
Masjid ini dibangun sejak bulan Rajab tahun 1430H atau tahun 2008. Setahun kemudian masjid bagian depan sudah dapat dipergunakan untuk sholat. Untuk mensyukuri ini Sang Guru mengundang pagelaran wayang Ki Enthus Susmono dari Tegal. Diundang juga Yati Pesek dari Yogya, Markaban dari Kudus dan beberapa seniman lainnya.
Bulan Rajab 1431 H, masjid ini dinyatakan selesai.
Untuk menyambut Idul Fitri tahun ini (2011) Sang Guru menambah pembangunan kamar kecil yang semula 20 unit menjadi 50 unit supaya pengunjung lebih nyaman dan tidak perlu antri.
Selesai masjid Lemahbang , Sang Guru sudah punya proyek baru. Penetapan awal pembangunan masjid baru ini dilaksanakan  pada bulan Rajab 1432H, sekitar Juni-Juli 2011. Setahun yang lalu Sang Guru membeli tanah seluas 3 hektar seharga 3 M di jalan raya Tuban – Lamongan masuk wilayah Dusun Sundulan Kalurahan Sumber Agung Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban.
Banyak orang bertanya, bagaimana Sang Guru sebegitu kayanya, bisa membangun masjid di beberapa tempat tanpa minta bantuan siapapun… Dari mana uangnya?
SANG GURU (6)
Banyak orang berfikir bagaimana pekerjaan sebesar itu dikerjakan “sendiri” tanpa bantuan orang lain? Dari mana uangnya. Bagaimana manajemennya? Sulit dinalar.  Aku pun pernah berpikir  seperti itu. Tetapi  aku yakin bahwa orang-orang yang “bersih” tentu ada fasilitas tambahan dari Allah yang diberikan padanya untuk menjalani kehidupannya. ”Sesungguhnya bumi ini diwariskan kepada hamba-KU yang soleh” (QS 21:105). Aku berhenti berfikir tentang hukum sebab akibat yang bersifat materiil matematis.
Kalau kita hanya melihat Sang Guru dari jauh, tidak melihat sendiri dari dekat, apalagi jika kita sudah termakan oleh dugaan buruk, maka yang muncul adalah kesimpulan yang buruk juga. Bahwa Sang Guru punya dhemit atau jin untuk mencuri uang. Bahwa Sang Guru main sulap dari daun menjadi uang. Dan yang lebih seru, bahwa  Sang Guru mencetak uang sendiri. Gambaran tentang  orang kaya kan mesti kelihatan punya usaha yang sukses dan terkenal. Rumahnya mesti  bagus, tanah  luas,  mobil keren, deposito di berbagai  bank atau perhiasan  yang berkilau dan mencolok mata. Tapi semua gambaran ini tidak ada pada Sang Guru.
Setelah beberapa tahun aku mendekat dan mengikuti perjalanannya, barulah aku tahu, Sang Guru punya beberapa usaha. Ada 12 ricemill (penggilingan beras) yang tersebar di seluruh Kabupaten Sragen, ada usaha pertanian yang ketika panen semangka bisa mengirim ke Jakarta senilai Rp 100 juta, ada 5 unit Bus Pariwisata, ada kerjasama dengan Cina tentang pengolahan pasir besi di pantai selatan, ada super market di Jakarta, ada tambang pasir merapi sekaligus 3 unit bego, ada tambang batubara di Kalimantan, bahkan ada tambang emas di Papua. Tetapi semua itu hanya kutahu secara sekilas. Aku mendengarnya dari berbagai sumber yaitu dari orang yang lebih lama dekat dengan Sang Guru. Tapi pernah juga aku melihat sendiri Sang Guru sedang menerima seorang tamu lalu mengangkat telpon beberapa saat, lalu berkata kepada tamunya, ”He..he ..orang nggak ada yang  tahu kalau aku ini pengusaha…” Aku menyaksikan adegan itu dari jarak sekitar 5 meter.
Usaha Sang Guru yang aku lihat dan ikuti perjalanannya adalah rumah makan di Jalan Raya Timur Km7 Sragen.
Rumah makan yang buka 24 jam ini memang selalu ramai dikunjungi orang. Rombongan wisata dan ziarah walisongo biasa singgah di sini. Masakan jawa dengan model prasmanan disertai masjid yang luas, bebas, kamar kecil yang banyak dengan air berlimpah  rupanya menjadi daya tarik bagi pengunjung. Kamar kecil dan tempat wudlu di masjid ini tidak ditunggu oleh petugas yang menarik bayaran. Semua seikhlasnya saja. Konon, waktu muda Sang Guru pernah punya pengalaman pahit tentang  kamar kecil yang  ditarik bayaran. Saat itu beliau masuk kamar kecil tapi tidak punya uang, maka terjadilah perang mulut dengan penjaga kamar kecil. Dan sekarang, setelah berhasil membangun masjid dengan puluhan kamar kecil dengan infaq seikhlasnya, beliau sempat berseloroh, “Kalau hanya untuk cari makan untuk keluarga, aku cukup jaga wese itu, sebulan bisa mencapai Rp 15 juta.”
Tentang kepemilikan, beliau sering menyebut dengan kata “kita”. Masjid kita, pondok kita, bus kita, tanah kita dsb. Ketika  bus pariwisata baru datang beliau menawariku dengan kalimat , ” ….sekarang kita punya bus wisata  Bu Wiwik… kalau mau dipakai silakan tinggal bayar bensin sama sopirnya saja…” Demikian juga ketika tanah masjid ini diperluas ke arah timur, beliau memberi kabar padaku dengan kalimat, ”Bu Wiwik, tanah kita akan tambah luas. Yang 15 m ke timur ini sudah jadi, tinggal bayar Rp 150 juta.. , tapi  belum ada uangnya..he he he …”
15 m ke timur membujur dari jalan raya ke utara sampai jalan desa… luas sekali .., kataku dalam hati. Sementara itu Sang Guru dengan nada bercanda berkata, ”Sebenarnya kalau setiap santri Rp1 juta saja, sehari beres ya Bu?…”  ”Benar sekali  Guru, saya juga mau…” jawabku dengan semangat… tapi beliau  segera menyahut,”Biar sajalah, nanti juga beres sendiri…”
Mepet di garis batas tanah ini dengan jalan desa, Sang Guru mendirikan sebuah bangunan. Semula aku menduga gedung itu untuk ruang pengajian anak-anak sekitar. Sementara ini aku melihat setiap ba’da ashar ada  kegiatan TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang berlangsung di masjid ini dan dibimbing oleh ustadz / ustadzah yang merangkap sebagai pengelola rumah makan. Tetapi di  lain waktu, gedung itu sudah berfungsi untuk kegiatan lain. Aku melihat ada semacam mesin pemecah batu (?) ada beberapa  tukang yang sedang menerima penjelasan dari  Sang Guru. Aku bersama isteri Sang Guru duduk agak jauh dari mereka. Setelah tukang-tukang itu pergi meninggalkan Sang Guru sendiri, aku mencoba mendekat dan bertanya, ”Ini mesin apa Guru?…”  Dengan santai beliau menjawab “… kalau aku terangkan paling Bu Wiwik juga nggak akan ngerti…”  Aku melongo… tahu diri. Aku baru sadar, terlalu banyak bertanya…
Yang kemudian membuatku  merenung  adalah, bagaimana mungkin orang dengan usaha yang banyak, yang dapat memberinya harta berlimpah dan bisa  hidup mewah, sudah merasa cukup dengan rumah sederhana,  tidur di atas tikar, baju standard kaos oblong, dan sering puasa. Hartanya lebih banyak untuk membangun  masjid di sana-sini. Juga untuk menyenangkan banyak orang saat momen tertentu di pondok pesantren. Demikian juga  isterinya, tidak ada yang menuntut minta busana atau perhiasan yang “wah”.   Anak-anaknya?  Tidak seorang pun yang tampil sebagai remaja yang gaul yang membutuhkan penampilan yang gaya dan trendi. Malah sebaliknya mereka sangat santun dan lembut. Pernah dalam satu kesempatan setelah selesai perayaan ulang tahun pondok aku bercerita  kepada Sang Guru  bahwa ada seorang kyai yang hadir dan mengatakan ”kaya sekali Sang Guru ini…”  Beliau tersenyum padaku dan melontarkan jawaban pendek , ”Allah yang kaya…”
Ini semua membuatku yakin, ada kekuatan lain yang diberikan Allah kepada Sang Guru.
SANG GURU (7)
BERIKUT ini aku akan bercerita tentang info kontroversial  yang sudah lama tersimpan di hati tetapi baru beberapa tahun kemudian aku berhasil mendapatkan  jawabannya. Info itu adalah ”mengapa Sang Guru suka bicara kasar, misuh, mengumpat dan menghujat”
Mungkin karena kuatnya  menjaga jarak dengan harta kekayaannya sendiri, kuat membentengi diri dari keterikatan dengan makhluq jasadi dan kuat mensterilkan diri dari virus nafsu duniawi, beliau menjadi manusia yang merdeka. Merdeka dalam arti sepenuhnya. Beliau tidak takut kepada siapapun,  tidak rendah diri atau minder di depan siapapun. ”Jangan takut kepada siapapun tetapi juga  jangan menakut-nakuti siapapun.” Itu salah satu pelajaran yang  sering disampaikan kepada santrinya.
Ungkapan itu dapat menjadi pendobrak tatanan perilaku salah kaprah yang terlanjur “mapan.” Banyak orang  dengan kewenangannya yang tidak seberapa sudah berani menakut-nakuti orang yang lemah dan mempersulit urusannya sehingga dirinya tampak sebagai orang yang berharga dan tidak terjangkau. Sebaliknya, jika dia berhadapan dengan orang yang lebih berkuasa, ketakutan  akan menghinggapi dirinya walaupun dia tidak melakukani kesalahan.
Dalam Islam ada ”yassiruu wa laa tu’assiruu” ( mudahkanlah jangan kamu persulit).
Karena “kemerdekaan” yang melekat dalam dirinya maka tidak ada beban baginya  untuk melontarkan kata-kata kasar, caci-maki, umpatan atau hujatan terhadap orang-orang yang menurutnya pantas menerimanya. Acuannya cuma satu, hati nurani. Beliau berlaku atau berucap seperti apa adanya, keluar dari hati tanpa basa basi, tanpa pretensi, apalagi perhitungan untung rugi.  Anehnya, banyak orang  justru  merasa terwakili untuk mengungkapkan isi hatinya. Sebab banyak orang tertekan oleh rasa takut, rasa pekewuh dan unggah-ungguh sehingga suara hatinya terpendam lalu pada gilirannya menumbuhkan rasa frustrasi dan patah hati. Dan itu benar..., tidak salah. Itu fakta yang nyata dirasakan oleh orang-orang yang lemah dari lapisan bawah.  Ungkapan seperti ”bupati malsu ijazah” – ”pejabat bejat” – “kyai kirik” dan semacamnya sering terdengar sebagai ilustrasi dalam pengajiannya. Di sisi lain, para “korban” umpatan dan hujatan itu tak satupun yang melapor kepada polisi untuk kasus misalnya “pencemaran nama baik.” Semua berjalan baik-baik saja. Tapi jangan sekali-kali ikut-ikut cara Sang Guru misuh, mencaci atau mengumpat orang, bisa sangat berbeda nuansanya.
Ketika dalam satu kesempatan hal itu kutanyakan beliau menjawab dengan sebuah perumpamaan, ”Nek ana mobil tabrakan , remuk, apa cukup digawakke sulak karo pethik?” – “kalau ada mobil tabrakan dan hancur apa cukup diperbaiki dengan sulak (bulu ayam pembersih debu) dan alat pembuka sekrup? “
Aku mengangguk sambil mencerna kalimatnya. Pemahamanku saat itu, berarti  pisuhan, caci-maki, umpatan  dan hujatan itu hanya untuk orang-orang yang rusak seperti mobil tabrakan dan hancur. Tidak cukup hanya diingatkan dan dinasehati. Dia harus “digergaji, dikenteng, dibakar lalu disambung atau dilas”.
Dalam bahasa Jawa mencaci-maki  atau mengumpat itu  ”misuh”. Cuci tangan atau cuci kaki bahasa Jawanya ”wisuh – wijik”. Menjawab pertanyaanku beliau menambah keterangannya begini, ”kudune sing tak pisuhi kuwi maturnuwun karo aku…wong wis tak wisuhi… tak resiki….” (mestinya orang yang sudah tak umpat, tak caci maki itu berterimaksih padaku karena sudah tak cuci, tak bersihkan). …….
Dan memang, setelah mencaci-maki seorang pejabat, beliau lanjutkan dengan doa semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan mengajak semua santri membaca Al-Fatihah untuknya.
Jika tujuannya memang untuk “misuhi” atau ”membersihkan” seseorang, maka benarlah apa yang beliau lakukan karena umpatan dan hujatan itu hanya disampaikan saat pengajian, bukan dalam interaksi sehari-hari… Bahkan sebaliknya, yang kurasakan selama dekat dan bergaul dengan beliau aku melihat kehalusan budi pekerti dan kelembutan hatinya.
Bagaimana cara beliau menghadapi murid-murid saat memberi pengarahan menjelang liburan misalnya, suasananya bebas dan gembira penuh ketulusan. Kehalusan budi pekertinya juga sempat aku saksikan dalam jamuan makan bersama pejabat tingkat propinsi dan seorang kyai besar dari sebuah pondok pesantren terkenal.
Suatu hari di tahun 2003, aku bersama 3 orang teman pria dan Sang Guru melakukan perjalanan ke Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang. Waktu itu pimpinan pondoknya adalah Bapak KH. Abdurrohman Chudlori ( sekarang sudah almarhum) yang juga salah satu Rois Aam PKB. Sang Guru akan menemui Kakanwil yang sedang berkunjung ke sana. Salah satu dari 3 temanku adalah kandidat kepala kantor di kabupaten. Beberapa saat sebelum sampai di pondok Sang Guru memberi perintah kepada teman-teman untuk ganti hem batik lengan panjang dan pakai peci. “Kalau aku, sudah biasa begini, nggak apa-apa…….” kata Sang Guru mengomentari busananya sendiri. Celana panjang kaos oblong tanpa alas kaki.
Di  depan pintu rumah Kyai,  beliau berkacak pinggang sambil mengucap salam. Pintu dibuka, Kyai keluar, aku menyaksikan mereka bersalaman dan berpelukan seperti sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Beliau masuk ke ruang dalam dan kami mengikutinya dari belakang. Beliau bersama Kakanwil dan Kyai duduk dalam satu meja dan kami di meja yang lain. Selesai pembicaraan, kami dijamu makan siang. Kami semua pindah ke ruang makan tapi tetap dengan  meja yang terpisah. Aku sengaja duduk di posisi yang memungkinkan bisa melihat Sang Guru makan.
Walaupun banyak orang mengira Sang Guru adalah orang kasar tetapi yang aku saksikan saat makan adalah gaya “priyayi” yang penuh tata krama dan etika. Bagaimana beliau duduk dengan tegak, memegang sendok garpu dengan benar dan mengunyah makanan dengan sopan. Juga tidak ada bunyi dentingan sendok dan garpu saat menyentuh piring. Jauh dari perkiraan sebelumnya bahwa beliau akan makan dengan lahap, cepat, diirngi bunyi cap-cap dari mulutnya dan suara nyaring dari denting sendok yang menyentuh piring.
Selain biasa mengumpat dan menghujat, sang  guru juga biasa “merusak”  tatanan protokoler yang dinilainya membatasi kemerdekaan orang untuk menghambakan dirinya hanya kepada Allah dan menggantinya dengan menghambakan diri kepada sesama makhluq yaitu jabatan dan kekayaan. Baiklah, tentang hal ini aku tulis di catatan yang akan datang.
SANG GURU ( 8 )
JIWANYA yang “bebas dan merdeka”  membuatnya memiliki pola berpikir yang bebas dan merdeka pula. Berbeda dari orang lain pada umumnya yang masih terikat dengan norma sosio-kultural yang materiil. Beliau hanya berpijak pada hubungan antara hamba dengan hamba dan hamba dengan  Tuhan. Seperti gambar segitiga samakaki. Semua hamba sama derajatnya di hadapan Tuhan dan karena itu hanya Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Kaya, Maha Kuat dsb.
Beliau menilai  norma-norma sosial masa kini sudah menyesatkan, salah kaprah, bahkan memutarbalikkan posisi, siapa menyembah siapa disembah. Contohnya, pejabat itu pelayan rakyat, tetapi kenyataannya rakyatlah yang melayani pejabat. Ada aturan tak tertulis bahwa pejabat harus dihormati, rakyat boleh disepelekan. Pejabat melanggar aturan nggak apa-apa, tapi rakyat melanggar aturan ada hukuman. Pejabat sama dengan Penguasa. Padahal yang berkuasa mestinya rakyat. Anggota dewan adalah wakil rakyat, tapi  mereka nggak kenal sama yang diwakilinya.
Malah mereka mengurusi dirinya sendiri. Mereka itu mewakili atau menguasai?
Demikian juga para kyai. Mestinya mereka melayani umat tetapi kenyataannya umatlah yang melayani mereka. Kyai harus dihormati, umat boleh disepelekan. Kyai bisa  menjual umat untuk suatu kepentingan. Makin banyak umatnya, makin tinggi harga jualnya. Orientasinya, uang dan kekayaan. Maka pantaslah kalau kyai sudah tidak ditaati lagi oleh pejabat karena bisa dibeli.  ”Wong cilik kuwi nek neng ngarepe pejabat disebut rakyat, nek neng ngarepe kyai disebut umat. Posisine podho, ... Podho rekosone… Mesakke …” (Kalau di hadapan pejabat, orang kecil disebut rakyat; bila di hadapan kyai, ia disebut umat. Sama penderitaannya). Demikian Sang Guru pernah menyampaikannya di sebuah pengajian.
Dadi pemimpin kuwi kudune jumeneng noto, njejegne negoro”.   Pemimpin itu mestinya berdiri tegak di atas kedaulatan rakyat,  mengatur bangsa dan menegakkan negara.” “Pemimpin kuwi kudu bisa ngayemi, ngayomi lan nyenengake.“ Pemimpin itu harus mampu memberi kesejahteraan untuk rakyat, memberi perlindungan  dan membangun suasana yang kondusif yang membuat rakyat merasa nyaman menjalani kehidupannya. Kenyataannya, para pejabat malah  menjajah rakyat, merampok harta negara. Sudah begitu, kalau rakyat ingin ketemu pejabat harus mematuhi aturan tertentu sebagai bentuk pernghormatan.  Pejabat itu orang penting, rakyat tidak penting. Mestinya pejabat yang turun melihat kondisi rakyatnya. Apakah rakyat sudah sejahtera, sudah tercukupi kebutuhannya? Jangan makan sebelum rakyatnya kenyang, jangan membangun rumah sebelum rakyat sejahtera. Pendek kata, pejabat itu harus tirakat, berani malu (karena miskin) berani miskin (karena tidak korupsi) dan berani berkorban (sebagai bentuk rasa tanggungjawab) untuk kesejahteraan rakyatnya. Itulah pemimpin sejati.
Bagi sebagian kita, mungkin berfikir “nonsens”. Mana ada orang yang mau menjadi pejabat dengan kriteria seperti itu. Tetapi, sejarah para sahabat Rasul bisa membuktikannya. Terlalu banyak untuk diceritakan. Kalau contoh itu terlalu jauh, ambil contoh dari bumi sendiri. Banyak contoh dari  sejarah kepemimpinan kerajaan  kuno di tlatah Nusantara.
Apakah pemimpin sejati hanya untuk  masa lalu? Apakah karakter pemimpin sejati tidak akan ada lagi? Apakah Allah akan membiarkan dunia ini hancur tanpa perbaikan? Kurasa tidak. Salah satu Hadits Nabi mengatakan  dalam setiap abad akan ada pembaharu (mujadid).  Aku optimis suatu saat Allah akan mengangkat seorang hamba yang diberinya kekuatan untuk memperbaiki keadaan.
Pada catatan yang lalu aku menulis  bahwa Sang Guru kecuali suka misuh juga suka “merusak” tatanan protokoler. Tatanan protokoler yang kumaksud adalah ketentuan yang ditetapkan oleh negara untuk menjadi acuan pelaksanaan acara kenegaraan atau kegiatan yang dilakukan oleh pejabat negara.
Melalui “perusakan” tatanan itu Sang Guru ingin mengajari  rakyat bahwa pejabat itu bukan Tuhan, jadi jangan berlebihan. Juga ingin mengajari para pejabat agar rendah hati karena kepemimpinannya harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Maka amanah itu harus dilaksanakan dengan adil, jujur dan bertanggungjawab.
Berikut, aku ceritakan 2 (saja) peristiwa  tentang bagaimana Sang Guru mendobrak tatanan itu.
Suatu hari di tahun 2007 Sang Guru diundang ke Keraton Surakarta dan diminta menyampaikan pidato. Yang hadir tokoh-tokoh nasional termasuk orang kedua di negeri ini. Seperti biasa, beliau mengenakan busana standard kaos oblong tanpa alas kaki. Banyak orang memandang sebelah mata pada Sang Guru. Tetapi ketika beberapa orang yang sudah kenal termasuk kerabat keraton bersalaman dan mencium tangannya, orang mulai berpikir, “siapa dia?…”
Petugas protokoler  bertanya pada Sang Guru, ”Bapak sudah siap?”
”Apa (aku)  tentara,” Sahut Sang Guru.”kok kon (kok aku disuruh)  siap?”
“Materinya apa pak?” tanya petugas protokoler. ”Ya…lihat saja nanti,” jawab Sang Guru.
”Waktunya hanya 10 menit pak,” sahut petugas protokoler.
”Saya tuh ndak usah diatur-atur …. sedetik saja bisa selesai,” seloroh Sang Guru.
Sejenak kemudian petugas itu menjauh dari Sang Guru. Gaya Sang Guru yang ketus itu sejatinya menjadi penyeimbang dari “gaya wah”nya para petugas protokoler.
Tidak lama kemudian ada pemberitahuan bahwa pidato Sang Guru didahulukan sebelum sambutan para tokoh nasional.
Sang Guru naik panggung  langsung mengucap salam, “Assalaamualaikum wr wb...”  Suaranya menggelegar dan menarik perhatian. Tentu saja para hadirin terdiam, memperhatikan. Bagi yang sudah kenal, suara itu terasa menghibur tapi bagi yang belum kenal, suara itu menyakitkan. Tidak sopan.
Berikutnya Sang Guru membuka pidato dengan kata-kata, “Bapak…(menyebut nama jabatan orang kedua) yang tidak saya hormati….” Banyak mata terbelalak mendengar kata pembuka itu dan tampak risih.  Tetapi bagi yang sudah mengenal Sang Guru,  kata pembuka itu seperti hiburan yang menyegarkan. Dan  karena dibatasi oleh etika sopan santun maka yang terdengar adalah tawa kecil yang hanya terdengar oleh orang di sebelahnya. Sang Guru melanjutkan, ”Waljinah  yang saya hormati…  Yati Pesek yang saya hormati… dst. Malam itu Sang Guru membuat heboh suasana keraton.
Peristiwa kedua terjadi tahun 2008 di alun-alun kidul Yogyakarta. Sekumpulan pemuda Yogya menyelenggarakan acara memperingati 2 tahun tsunami Yogya. Sang Guru diminta menyampaikan orasi. Yang hadir para tokoh tingkat DIY dan hadir pula Hidayat Nurwachid. Ada seniman Opick yang menyanyikan lagu-lagu religius dan Sitoresmi yang membacakan beberapa puisi.  Saat berada di panggung, beliau langsung berteriak,”Kalau aku  bicara ditirukan apa tidak?” Hadirin diam dan ragu.  Pertanyaan itu diulang lagi dengan tambahan, ”Kalau tidak ditirukan aku turun.” Serentak para hadirin menjawab,”Ditirukan…!!!” “Lha iya, tadi Opick ditirukan, yang pidato tadi juga ditirukan, maka aku pun harus ditirukan…”  Hadirin tertawa lepas karena Sang Guru terkesan lucu. Setelah reda tawa hadirin, Sang Guru melontarkan pertanyaan, ”Pejabat sekarang ini banyak yang baik apa banyak yang maling?” Serentak para hadirin yang mayoritas anak-anak muda berteriak, “Maliiiiiiiiing…!” Seketika Sang Guru mengatakan , maliiiiiing…  maliiiiiing… maliiiiiing…“ dst ditirukan oleh anak-anak muda. Sementara kata-kata “maling” mengudara, seorang tokoh yang hadir di arena itu ngeloyor pergi. Pemandangannya jadi lucu. Sepertinya tokoh itu melangkahkan kaki diiringi teriakan “maling…maling..” Polisi marah kepada panitia karena mengundang pembicara “yang tidak keruan.” Heboh sana, heboh sini. Tetapi kenyataannya ketika Sang Guru turun dari panggung, beliau mendapat salam dan pelukan dari Kapolda dan dari Hidayat Nurwachid.
 SANG GURU ( 9 )
TINGGAL satu pertanyaan yang belum aku sampaikan kepada Sang Guru, namun sebenarnya aku tidak perlu bertanya lagi karena dari pengamatanku sehari-hari aku sudah menemukan jawabnya. Mengapa beliau tidak memakai alas kaki.
Dulu ketika aku belum masuk pondok, beberapa komentar orang tentang hal itu masuk ke telingaku. Misalnya, ”titik kesaktian dia memang ada di situ (di tanpa alas kaki itu).“ Kesaktian. Memang Sang Guru punya kesaktian apa ya?, pikirku waktu itu. Yang lain bertanya dengan nada naif, ” kok nggak pake alas kaki. gimana kalau najis?”  Kekanak-kanakan sekali pertanyaan ini, kataku dalam hati. Ternyata beliau tetap saja memakai alas kaki saat bersuci atau ke masjid. Jadi menurutku, nggak ada masalah soal alas kaki.
            Tetapi, sekedar info, ada yang cerita padaku tentang alas kaki itu. Suatu hari entah kapan, Sang Guru mendatangi sebuah instansi pemerintah untuk satu keperluan. Seperti biasanya, beliau hanya mengenakan sendal jepit. Sebelum dilayani, petugas instansi itu melihat sendal jepit di kaki Sang Guru, langsung naik pitam dan menggertak,  ”Tidak tahu sopan santun! datang ke kantor pake sendal jepit!…. Pulang dulu, ganti sepatu!…”  Sang Guru bereaksi, langsung berdiri, melepas sendal jepit itu lalu melemparkannya keluar ruangan… “pprrakk”… Sang Guru keluar dan tidak pernah kembali lagi.
Sejak saat itu konon Sang Guru tidak pernah memakai alas kaki. Entah kenapa…
Tetapi, di lain waktu aku pernah mendengar beliau berkata, “Kita terbuat dari tanah dan akan kembali ke tanah, tidak ada salahnya kita mengakrabi tanah tempat kita kelak dikubur di dalamnya.”
            Bicara soal kesaktian, aku teringat pada cara kerja dukun dan paranormal. Mereka “pandai”  meramal, “pandai” mengatasi masalah, “pandai” menyembuhkan penyakit, bahkan “pandai” memenuhi keinginan pasien. Tapi semua itu ada syaratnya. Pertama, harus menggunakan benda-benda tertentu sebagai sarana. Kedua, harus ada mantra-mantra yang dibacanya untuk meyakinkan pasien dan ketiga, harus ada  imbalannya  yaitu dibayar sesuai permintaan. Teori ekonomi pun berlaku. Makin banyak orang kebingungan dalam menghadapi masalah makin banyak dukun dan paranormal yang memasarkan diri. Jadilah dukun dan paranormal sebagai profesi yang menjanjikan. Banyak orang yang hidup kekurangan di kampung, dengan sedikit keberanian bersandiwara pergilah dia ke Jakarta jadi dukun atau paranormal. Pulang kampung sudah jadi orang kaya. Bayangkan, “jeroannya” aki yang sudah rusak dipotong-potong ukuran  2×3 cm dibungkus kain putih, dibilang “jimat”, dijual seharga 5 juta rupiah per potong. Gimana nggak kaya?
            Banyak juga orang menganggap Sang Guru sebagai dukun atau paranormal. Itu karena mereka datang dengan membawa masalah dan yang dia mengerti hanyalah alam perdukunan. Baginya alam gaib hanyalah jin, setan, genderuwo, banospati atau prewangan yang kesemuanya berenergi negatif. Mereka tidak mengerti atau tidak memiliki keyakinan bahwa ada malaikat utusan Allah yang bisa membantu orang-orang tertentu yang dikehenadaki-NYA. Bahkan mereka mengira tidak ada orang yang memiliki kekuatan gaib kecuali dibantu oleh makhluq-makhluq halus seperti yang aku sebutkan di atas. Maka banyak orang menduga bahwa Sang Guru menggunakan ilmu klenik. Kadang Sang Guru hanya tertawa kecil mendengar tuduhan itu lalu berujar,    ”Memang fitnah dan cobaan itu makananku sehari-hari…  Makin banyak fitnah, makin sakti lah aku…”
Dan pada banyak kesempatan beliau sering berujar ”Saktiku iki sakti tanpa pirantii, tanpa aji-aji…”   Maksudnya, kesaktian beliau ini adalah sakti  tanpa sarana tanpa mantra…”
Aku merenungkan ucapan beliau yang terakhir ini lalu mencoba menelaahnya sendiri.
            Hasil telaah dan pengamatanku tentang “kesaktian” Sang Guru adalah, kalau hati dan jiwa sudah bebas dan merdeka dari ikatan belenggu materi dunia  bukankah beliau lebih mudah menemukan jalan kebaikan untuk “bertemu” dengan-Nya? Dan jika beliau bisa bertemu dengan-Nya bukankah itu berarti beliau bisa berteman dengan para aparat-Nya? Dan jika beliau berteman dengan aparat-Nya bukankah beliau bisa mengajukan usulan tentang sesuatu yang menimpa saudaranya?
Ungkapanku ini mungkin menimbulkan keraguan di hati pembaca, atau bahkan menuduhku sudah “gila” karena sudah berlebihan. Aku menyadari itu, tetapi aku tidak menemukan “hasil” yang pas tentang pengamatanku terhadap pribadi Sang Guru kecuali ungkapan itu.
            Salah satu bentuk kesaktian Sang Guru dapat aku ceritakan berikut ini :
Suatu saat ada seorang artis dari Yogya yang terkapar sakit di sebuah rumah sakit swasta di kota itu. Para dokter sudah angkat tangan. Tidak ada jalan lain buat mengobati sakitnya. Pasien sudah ditutup dengan selimut putih sementara beberapa saudaranya menghadap Sang Guru dan meminta pertolongannya. Sang Guru diikuti oleh Pak Samuel, seorang “santri” dari Papua yang kebetulan sedang berada di pondok datang ke kamar pasien. Dibukanya selimut putih, dipegangnya jempol kaki pasien lalu diusapnya wajah pasien dan tidak lama kemudian pasien itu siuman. Hingga sekarang pasien itu  tetap sehat dan beraktifitas kembali seperti biasa.
Pak Samuel yang telah menyaksikan Sang Guru “menghidupkan” orang mati makin cinta kepada Sang Guru. Aku tidak tahu sejak kapan dia datang ke pondok dan siapa pula yang mengajaknya. Yang jelas setiap ada acara besar di pondok dia selalu hadir di tengah-tengah kami. Sang Guru pun menghormati kedatangannya seperti menghorrmati tamu-tamu lainnya. Pak Samuel sering bercerita tentang pengalamannya bersama Sang Guru. Dan dia  yang  beragama kristen itu berkata bahwa dia telah  menemukan Yesus di sragen  ini.
SANG GURU ( 10 )
ORANG yang datang kepada Sang Guru berasal dari berbagai daerah, berbagai etnik, berbagai agama,  berbagai strata sosial dan membawa berbagai masalah. Dan ketika Sang Guru menyampaikan sebuah petuah, wejangan atau pengajian, maka penafsiran para audien pun beragam sesuai basis kehidupan mereka. Tetapi di sisi lain, semua orang yang datang, masing-masing merasa dihormati dan disayangi oleh Sang Guru. Maka tidak heran bila mereka jadi “ge-er” alias gegeden rumangsan atau dalam bahasa Indonesia terlalu “pe-de” untuk menjadi yang “paling” di antara sesama santri.
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, aku dan suami diminta hadir di masjid Lemahbang jam 3 pagi utk kemudian sholat subuh berjamaah di sana dan setelah itu ke Tuban melihat lahan  calon lokasi  masjid yang akan dibangun di sana.
Dengan penuh percaya diri dan merasa penting, kami berdua datang ke masjid itu. Tidak lama kemudian datang sebuah mobil dengan 3 penumpang. Ternyata mereka juga mau ke Tuban. Demikian juga tamu berikutnya dan berikutnya lagi hingga terkumpul sekitar 40 orang. Kami saling bertanya dan bercerita bahwa kedatangan kami sepagi ini atas perintah Sang Guru. Kemudian kami semua tertawa, mentertawakan diri sendiri karena ternyata kita punya “posisi” yang sama dan sama-sama “ge-er.”
Tetapi jangan salah sangka, bahwa jika Sang Guru menerima kedatangan semua orang tanpa pandang agama dan status lalu diartikan sebagai  membenarkan semua agama. Tidak. Terhadap perbedaan agama beliau lebih sering mengajarkan “lakum diinukum waliyadiin” .   “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” . Atau ” laa ikrooha fid diin”, tidak ada paksaan dalam meyakini agama.Tetapi pada sisi lain beliau juga mengajarkan “inna diina ‘inda Allah ‘l Islam”… “Agama yang ada di sisi Allah adalah Islam.” Islam adalah rohmat untuk semesta alam dan karena itu harus bisa merengkuh, mengayomi dan mendamaikan  agama lainnya. Bukan memusuhi mereka. Mereka harus tunduk kepada nilai-nilai Islam yang  kita ejawantahkan pada kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kita membuat orang tertarik pada Islam karena kebaikannya. Kita harus bisa menjadi contoh bagaimana menjadi muslim yang benar. Dalam hal ini Sang Guru sudah memberi banyak contoh kepada para santri. Sang Guru menjalani kehidupannya sesuai nilai-nilai Islam baik kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Sambil berseloroh beliau sering berucap, ”Aku sudah ittiba’ (mengikuti) Nabi. Nabi petani, aku juga petani. Nabi pengusaha, aku juga pengusaha. Yang belum, Nabi jadi pejabat tapi aku masih jadi rakyat biasa.”
Lebih jauh   Sang Guru mengajarkan, “Inti  agama itu adalah taat dan taubat kepada Tuhan”. Menjalankan agama artinya menjalankan  ketaatan dan pertaubatan kepada Tuhan. Dua kata itu harus beriringan karena taat saja tanpa taubat bisa menumbuhkan kesombongan religius karena  orang lupa pada kesalahan atau kekhilafannya sendiri. Sebaliknya kalau hanya taubat saja tanpa mentaati perintahnya sama dengan bohong.  Tuhan hanya satu dan agama mestinya juga hanya satu. Kalau kenyataannya agama menjadi banyak, itu kan karena penafsiran manusia menurut akal dan penghayatannya sendiri. Mestinya Al Qur’an juga jangan ditafsir-tafsirkan. Kita menafsirkan ucapan orang lain saja belum tentu benar, kenapa harus menafsirkan “ucapan Tuhan?”
Akibat dari penafsiran itu maka timbul kelompok-kelompok yang masing-masing merasa paling benar. Lalu mereka saling berdebat, saling menjatuhkan bahkan pada akhirnya saling membunuh. Agama bukan lagi sebagai “pendamai” antar manusia, bukan lagi petunjuk ke arah penghambaan kepada Tuhan  malah menjadi pencetus kekerasan antar manusia dengan mengatasnamakan Tuhan.
Ilmu itu ada 4 tingkatan, begitu kata Sang Guru  di hari-hari pertama  aku masuk pondok. Saat itu aku sama sekali tidak memahami maksudnya. Kalimatnya singkat seperti ini, ”Paling rendah, ilmu tumbuh-tumbuhan, di atasnya ilmu kitab, ilmunya kyai, terus ilmu ukur – ilmunya para wali dan nabi dan yang paling tinggi, ilmu alam, ilmunya Tuhan.”  Tanpa penjelasan lebih detil dan aku tidak berani bertanya atau lebih tepatnya ”tidak bisa” bertanya.
Pada kesempatan yang lain, beliau mengulang pelajaran itu dengan sedikit penjelasan. Ilmu tumbuh-tumbuhan itu wujud lakunya adalah binatang. Ilmu kitab natap-natap (mentok),  ilmunya kyai dan para alim ulama, kalau kitabnya dicuri orang dia tidak bisa mengajar. Ilmu ukur, ilmunya para wali dan nabi, mereka selalu tepat mengukur mana yang haq dan mana yang batil. Ilmu alam, ilmunya Tuhan, ilmu yang sangat luas dan berlaku untuk seluruh jagad raya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin seringnya  aku mendengar keterangan itu di beberapa kesempatan, aku mulai mencoba memahaminya. Tentu saja pemahaman menurut versiku. Aku tidak tahu apakah orang lain akan sepaham denganku.
Tingkatan pertama, ilmu tumbuh-tumbuhan dengan perilaku hidup seperti binatang. Tumbuh-tumbuhan adalah unsur alam yang diawali dengan biji  yang tertanam lalu dengan proses alam dia tumbuh sedikit demi sedikit, pada waktunya dia berbunga, dan pada saat berikutnya dia akan  berbuah. Setelah itu dia menjadi tua,  layu, kering dan mati.  Manusia yang hanya sampai pada ilmu tumbuh-tumbuhan dia akan berlaku seperti binatang lalu melahirkan sifat ego yang besar, nafsi- nafsi alias ” loe-loe, gue-gue.” Manusia itu  hayawanun natiq – binatang berakal.
Jika pemahamanku ini aku kembangkan lagi, maka akan aku temukan kualitas hidup manusia yang seperti ini, ”lahir, dewasa, kerja, kawin, punya anak, punya harta, selesai…” Tidak ada sentuhan nilai yang lebih tinggi dari itu. Sama dengan ayam atau kambing yang setiap pagi pergi cari makan, kalau sudah kenyang pulang, tidur, dan begitu seterusnya. Aku sering mendengar Sang Guru menyebut seseorang dengan pitik – ayam. Mungkin karena hidupnya hanya untuk mencari makan dan menimbun harta duniawi.
Ilmu kitab, natap-natap, ilmunya para kyai, kalau kitabnya hilang dia tidak tahu apa-apa, tidak bisa menyampaikan ilmunya.
Menurut pemahamanku,  kata “kyai” dan “kitab” dapat diperluas maknanya sebagai berikut: Kyai adalah alim ulama, dan para cerdik cendekia, para intelektual dan akademisi yang dasar-dasar pemikirannya menggunakan logika dengan syarat tertentu seperti ” sesuatu disebut ilmu jika..”, atau ” sesuatu dinyatakan  logik jika..” atau bahkan ” sesuatu dinyatakan benar jika…” Kemudian kata “kitab”  adalah buku, naskah, transkrip atau apa saja yang berbentuk dokumen yang diposisikan sebagai ” sumber ilmu” atau “referensi” atau ”dasar berpendapat.”
Pada taraf ini manusia hanya berkutat pada wacana-wacana saja. Hanya beradu argumentasi, berdebat mencari “kebenaran” dan karenanya dia berada di “menara gading”. Susah membumi.
Sang Guru sering berucap, ilmu kitab  natap-natap. “Natap” adalah kata dalam bahasa Jawa yang artinya “terbentur”, dalam makna “mentok” , tidak dapat diteruskan. Pemahamanku tentang hal ini adalah, ilmu kitab tidak akan dapat menyelesaikan masalah, tidak dapat memberikan solusi pada persoalan hidup manusia secara global.
Sering sambil berseloroh Sang Guru berujar, ”Kalau kyai nggak bawa kitab nggak bakalan bisa mengajar. Kalau aku, sambil merem aja bisa kok.” Beliau bukan bermaksud menyombongkan diri melainkan memberitahu bahwa ilmu dalam kitab dan buku itu tidak seberapa, maka jangan sombong dengan tingginya pendidikan atau gelar akademis yang sudah diraih dan ditulis di depan atau di belakang namanya.
Ilmu ukur. Waktu sekolah di bangku SMP aku mendapatkan pelajaran ilmu ukur yaitu pelajaran tentang bentuk-bentuk yang terukur dan rumus-rumusnya. Ketika Sang Guru mengucapkan kata “ilmu ukur” seketika aku ingat pelajaran itu. Tetapi ternyata Sang Guru menambahkan kalimat, “Ilmu ukur, ilmune para nabi para wali. Para Nabi lan Wali mesti pas ukurane soal haq lan batil.” Ilmu ukur menurut Sang Guru adalah ukuran tentang haq dan batil. Tinggi sekali.
Dalam kehidupan nyata aku mendapati banyak fenomena yang memang masih perlu dipertanyakan apakah hal itu benar atau salah.
Banyak kyai yang “berdakwah” pasang tarip, benar apa salah? Banyak kyai yang memotong-motong ayat Qur’an lalu dijual sebagai jimat atau mantra, benar atau salah? Banyak orang mendirikan lembaga bimbingan haji lalu menarik keuntungan dari  para calon haji dalam melakukan ibadahnya, benar atau salah? Banyak biro perjalanan haji dan umroh yang ramai-ramai “memasarkan” ibadah umroh sehingga umroh menjadi ibadah yang “trendy”, benar atau salah? Ada pencuri besar lalu membagikan hasil curiannya untuk fakir miskin yang kelaparan, benar atau salah? Ada orang yang ibadahnya sehari-hari biasa saja, tetapi untuk kegiatan sosial dia luar biasa, benar atau salah? Banyak ustadz yang tampil  menjual ilmunya dengan gaya artis dan selebritis, benar atau salah? Banyak fenomena kehidupan yang rancu di sekitar kita dan kita tidak dapat berbuat apa-apa.
Terhadap kenyataan ini Sang Guru pernah bercanda dengan memplesetkan kata ” jamaaaah……” yang biasa diucapkan seorang ustadz di sebuah tivi swasta dengan kata ”unthuuuuuk…” Unthuk adalah kata dalam bahasa Jawa yang artinya “busa” – “buih.”
Bukankah Rasul pernah bersabda yang artinya kurang lebih, ” di zaman akhir nanti, Islam tinggal seperti buih….kelihatan besar dan menarik, tetapi sebenarnya kosong melompong tidak ada isinya sama sekali…”

SANG GURU (11)

TINGKATAN ilmu yang tertinggi adalah ilmu alam, ilmunya Tuhan.
Tentang ilmu alam sebagai ilmunya Tuhan, Sang Guru belum pernah memberikan penjelasan apapun baik secara pribadi maupun secara umum saat pengajian. Tidak, sekalipun hanya sebaris kata seperti pada ilmu yang lain. Dalam ilmu tumbuh-tumbuhan Sang Guru menambah " lakunya seperti binatang". Dalam ilmu kitab Sang Guru menambah " natap-natap".... Dalam ilmu ukur Sang Guru menambah "ukuran haq dan bathil".  Sedang untuk yang satu ini, hanya  "ilmu alam ilmunya Tuhan"... titik.  Maka sulit bagiku untuk menuliskannya walaupun dalam ruang pikir dan jiwaku,  aku mengerti. 
Namun demikian, aku melihat kehidupan Sang Guru dalam keseharian baik ucapan kalimatnya, ungkapan pikirannya atau perilakunya selalu dekat dengan alam. Bahkan dapat dikatakan alamiah sekali. Tidak ada rekayasa, tidak ada basa basi. Semua lugas, tuntas dan jelas. Termasuk saat beliau salah ucap atau salah tangkap.
Dalam hal bangunan pondoknya, semua bahan alami, tidak ada bahan hasil rekayasa. Dalam hal makanan, beliau masih setia dengan segala sesuatu yang direbus atau digoreng. Beliau tidak suka  menyantap makanan hasil rekayasa. Demikian juga proses pekerjaan. Dalam bertani beliau tidak menggunakan pupuk buatan melainkan pupuk alami atau pupuk organik. Bahkan dalam banyak hal beliau sering menggunakan bahasa alam.
Ketika ada seorang santri yang mengeluhkan anaknya yang lemah, cengeng dan sangat perasa, Sang Guru memberinya nasehat,"Kon mangan jangan bung sing akeh," -   “Suruh makan sayur bung yang banyak ". Yang dimaksud dengan sayur bung adalah sayur  rebung, pangkal bambu yang masih muda. Sayur rebung adalah salah satu masakan khas orang Jawa. Orang yang masih awam tentu akan melakukan nasehat  itu apa adanya.
Tapi apakah nasehat Sang Guru itu harus ditelan mentah-mentah? Benar-benar makan sayur rebung? Tidak. Yang beliau maksud dengan makan sayur rebung adalah melatih dan  mengajari anaknya dengan sesuatu agar hatinya  kuat dan tegar seperti  "kuat dan tegarnya bambu" . 
Di suatu sore ba'da ashar aku dan suami berada di pondok dan kami ngobrol bertiga di ruang tamu. Langit mendung, angin bertiup perlahan dan tak lama kemudian hujan turun dengan deras. Ruang tamu menjadi setengah gelap tanpa lampu. Halilintar menyambar-nyambar dengan suara menggelegar seolah berada di atas kepala. Kami bertiga sama-sama diam membisu. Tak lama kemudian Sang Guru berkata, "Bu wiwik pernah berdzikir menyebut asma Allah dengan keras tapi tanpa suara?"  Kami berdua saling berpandangan. Beliau melanjutkan, "Jantung kita berdetak keras dengan irama tegap melafalkan Allah..Allah.. Allah..." Kami berdua menundukkan kepala. "Usahakan bisa melakukan itu, suara halilintar itu tidak sebanding kerasnya dengan suara dzikir kita di hati," lanjut Sang Guru.
Beliau sangat menghargai dan menghormati kehidupan. Menurutnya, tidak ada hak bagi suatu makhluk untuk membunuh makhluk lainnya. Itu haknya Tuhan. Manusia hanya bertugas merawat dan menjaga kehidupan. Kecuali "pembunuhan" yang berlangsung sesuai ekosistem. Bahkan ekosistem harus terjaga demi tegaknya  keseimbangan alam.
Pernah di suatu siang ba'da dzuhur, aku dan  suami menghadap Sang Guru dan diterima di serambi masjid Mahbang. Kami bertiga duduk di serambi bagian utara sehingga tidak banyak orang lewat. Kami ngobrol tentang berbagai hal. Sementara itu datang serombongan semut berbaris melewati tempat kami ngobrol. Sang Guru memperhatikan barisan semut itu lalu berkata, "Pindah ke sini Bu wiwik, di situ ada semut lewat... " Beliau menggeser posisi duduknya beberapa meter ke samping. Kami mengikuti beliau. Semut pun diperlakukannya dengan sopan.
            Pada kesempatan yang lain ada peristiwa, sebuah bus pariwisata yang akan parkir di halaman rumah makan menabrak pohon mangga yang tumbuh di halaman depan masjid. Batang pohon itu patah persis di bagian tengah. Maklum pohonnya masih "remaja". Mendapat laporan tentang hal ini Sang Guru segera datang ke halaman masjid lalu mendekati pohon itu. Beberapa menit beliau jongkok di samping pohon, entah apa yang dilakukannya. Tetapi mengingat bahwa Sang Guru biasa "bercakap-cakap dengan alam" , aku menduga saat ini beliau sedang " menghibur dan mengobati luka hati pohon itu". Tidak lama kemudian sopir bis itu dipanggilnya. Dengan suara datar  beliau mengingatkan sopir itu, "Sebelum pergi meninggalkan lokasi ini kamu harus pamit sama pohon ini" sambil menunjuk ke arah pohon yang pucuknya sudah terkulai  ke bawah.
Setelah bis itu pergi, dengan menitikkan airmata Sang Guru mencabut pohon itu perlahan-lahan lalu membawanya  ke halaman belakang. Beliau kembali ke halaman depan dengan membawa sebatang pohon mangga yang lain dan menanamnya di tempat semula sebagai pengganti.
Memang, di sekeliling masjid beliau menanam beberapa pohon mangga, pohon kersen (talok) dan pohon lainnya dari jenis pohon berbuah.  Semua tumbuh dengan subur kendati di musim kering seperti saat ini. Mungkin aku terkesan berlebihan. Tetapi, memang begitulah kenyataannya. 
Tentang pohon dan tanaman Sang Guru sering memberi nasehat kepada kami semua, "Senanglah bercocok tanam tetapi kalau sudah berbuah jangan marah kalau buahnya diambil  orang.”
Nasehat itu menyadarkan kami bahwa kami hanya bisa menanam, dan sama sekali tidak punya kemampuan untuk menumbuhkan atau memberinya buah. Jadi sudah semestinya kalau buah itu dihalalkan untuk siapa saja yang membutuhkan. Sejatinya, buah itu milik Allah.
Sang Guru juga menghalalkan semua buah dari pohon yang ditanamnya baik di halaman masjid Mahbang maupun di halaman pondok Plosorejo. " Silakan ambil, ndak usah minta ijin. Halal," kata beliau suatu saat." Tetapi tentu saja jangan membuat kerusakan. Petik dengan cara yang benar dan tunggu sampai matang..."
Lebih jauh beliau menerangkan, "Kita harus berterimakasih kepada tanaman, kepada pohon-pohonan. Mereka dengan rutin memberi manfaat kepada kita. Padahal antar sesama manusia saja belum tentu saling memberi manfaat.  Pernahkah kalian mengucapkan terimakasih kepada padi saat kita makan nasi? Atau berterima kasih kepada kedelai, bayam , kangkung, jagung dll yang setiap saat kita makan? Kita, bangsa manusia ini memang serakah dan sombong.
Beliau menjalin persahabatan yang erat dengan alam. Terbukti, ketika terjadi tsunami di Aceh tahun 2004, beliau bersama keluarga melakukan puasa setiap hari sepanjang 2 tahun. Ketika akan memberi perintah untuk berhenti puasa, mendadak terjadi gempa di Yogya tahun 2006, maka puasa itu tidak jadi berhenti alias dilanjutkan lagi hingga setahun ke depan. Perintah puasa ini hanya untuk keluarganya, tidak untuk para santri atau pengikutnya.
Bagi orang yang "syariat minded" pasti akan bertanya, "Apa ada tuntunannya, puasa kok tiap hari?"  Menurut pemahamanku puasa yang dilakukan Sang Guru dan keluarganya  itu adalah puasa tirakat sebagai bentuk "toleransi" kepada alam yang sedang murka.
Beberapa kali beliau menjelaskan, "Kalau seorang pemimpin curang dan tidak memegang amanah, maka alam yang akan murka. Bersatunya tanah, air, api dan udara adalah bencana..."

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar