Kamis, 10 November 2011

Tanggapan atas Jefri dan Sinung

Menanggapi Pernyataan Spiritulais Jefri dan Sinung tentang Satria Piningit


Jayabaya: Kemenangan Wali

Posmo edisi 648, tertanggal 26 Oktober 2011 pada rubrik Laporan Utama dilansir pendapat beberapa orang dari kalangan spiritualis dan peneliti naskah kuno tentang Jangka Jayabaya. Dari kalangan spiritualis adalah Jefri Samudra. Sedang dari kalangan peneliti naskah kuno adalah saudara Sinung Janutama.
Saudara Sinung bicara tentang cara menjelaskan kondisi saat ini sebagai zaman yang dimaksud dalam Jangka Jayabaya.
“Kita berada di zaman Kalabendhu (edan, pen.),” papar Sinung,”…semua yang terjadi selama dalam zaman Kalabendhu adalah sarana untuk melahirkan Joko Lodhang yang menjelma sebagai Satria Piningit.” Lebih jauh Sinung menyatakan bahwa satria piningit tidak bisa berbuat apa-apa jika rakyat tidak bergerak untuk melakukan perubahan. Ia akan masuk lagi ke alam gaib dan bahkan tidak pernah akan muncul lagi.
“Jayabaya itu dari kata jayaning ubaya. Artinya, menangnya janji Tuhan,” tutur Sinung. Dengan kesucian mata batinnya, Prabu Jayabaya diberi anugerah berupa wahdat al-Syuhud, weruh sadurunge winarah. Ajaran inilah yang kemudian dikemas dalam sebuah Jangka Jayabaya pada 1157 Masehi. Ajaran ini ditulis ulang oleh R.Ng Ronggowarsito pada abad ke-19.
Prabu Jayabaya adalah raja terbesar dari Kediri. Ia jumeneng nata pada 1157 Masehi. Jayabaya mampu membangun Kerajaan Kediri menjadi gemah ripah loh jinawi sehingga sebagai negara terkaya di dunia. Jayabaya punya guru bernama Ngali Syamsuen. Nama Ngali Syamsuen, bila diucapkan dengan lisan Arab menjadi ‘Ali Syamsun.  Dengan demikian Jayabaya sebenarnya seorang raja sekaligus wali, “rajawali.”
Sedang spiritualis Jefri Samudra mengacu pada Serat Sasongkojati bahwa Pakem Jayabaya sekarang sudah memasuki zaman Kalabendhu. Untuk memasuki zaman Kalasuba (keemasan) harus melalui zaman Goro-goro dan membutuhkan waktu selama 20 tahun. Zaman Goro-goro adalah masa hancurnya kebudayaan buruk menuju baik. Sekarang sudah menjelang zaman Goro-goro, yang ditandai dengan lahirnya “agama Budi.” Agama-agama yang ada akan menyesuaikan dengan “agama Budi.” Berdasarkan Pakem Jayabaya, setelah 5 abad mendatang Indonesia meninggalkan agama yang dibawa orang asing dan muncul Ratu Adil. Dialah sang ratu yang akan memimpin Nusantara.
            Yang hendak penulis tanggapi dari saudara Sinung adalah siapa sebenarnya sang ratu adil yang akan memimpin Nusantara. Sebab, kesimpulan saudara Sinung masih abstrak mengenai sosok ratu adil. Maka dalam tulisan ini figur yang konkret akan melengkapi ilmu “jangka kewalian” tersebut, siapa sang ratu adil itu. Ilmu “jangka kewalian” tanpa dilengkapi dengan kepekaan membaca alam maupun figur tokoh yang nyata, tentu kehilangan “daya gugah” bagi kawula atau rakyat. Dan ini akan memperlambat proses jumeneng natanya satria piningit.
            Penulis sepakat dengan saudara Sinung dan Jefri Samudara bahwa sekarang kita sudah masuk zaman Kalabendhu. Hal itu selaras dengan kepekaan batin dalam membaca tiga watak buruk zaman ini, yaitu artati, gila harta; nistana, hina; jutya, julik, jahat dan bejat. Pernyataan spiritualis Jefri Samudra soal waktu 20 tahun yang dibutuhkan zaman Goro-goro, sebagai masa transisi menuju zaman Kalasuba, itu pendapat yang bisa diperdebatkan.  Sebab, hal itu tergantung kesiapan rakyat (meski hanya sebagian kecil) dalam menyongsong kehadiran satria piningit.

Jayabaya, HOS Tjokroaminoto dan Abah Syarif

Ketika jumuneng nata, Jayabaya adalah sosok ratu adil. Pengertian ratu adil tak bisa dilepaskan dari konteks “rajawali”, yaitu kepemimpinan waliyullah dalam sebuah negara. Dari kepemimpinan “rajawali” inilah kebudayaan buruk mengalami kehancuran, sehingga yang ada hanya kebudayaan bagus. Artinya, kebudayaan yang menjunjung nilai dan norma ajaran Tuhan. Kemenangan wali ditandai dengan dominasi nilai dan norma Tuhan atas nafsu syaithaniyah yang bersinergi dengan nafsu manusia.
Tak mungkin kemenangan waliyullah didorong oleh nafsu, seperti motivasi materi. Belakangan kita menyaksikan di layar televisi, Amerika Serikat  dan sekutunya mengalami kemenangan atas rezim Libya Khadafy. Sebelumnya mereka juga menang atas rezim Iraq Saddam. Namun, kemenangan Barat atas rezim-rezim di Timur Tengah itu dilatarbelakangi oleh keserakahan nafsu, yaitu menguasai sumur-sumur minyak. Cara memperoleh kemenangannya menghalalkan segala cara! Bukan itu latar belakang kemenangan wali! Kemenangan wali dilatarbelakangi oleh panggilan nurani suci untuk menegakkan nilai dan norma Tuhan. Itulah kemenangan “agama Budi.” Di zaman Kalasuba nanti semua agama akan mensubordinasikan di bawah “agama Budi” ini.
Di Nusantara sekarang sudah muncul seorang waliyullah yang siap menjadi raja, calon “Rajawali.” Siapa dia?
Penulis berargumen bahwa pada 2011 saatnya Allah memunculkan seorang mujaddid (pembaru). Hal ini mengingat pada 1911, HOS Tjokroaminoto meletakkan dasar perubahan sosial-politik di Indonesia. Rumus tersebut didapat dari Nabi Muhammad SAW, bahwa tiap satu abad Allah pasti memunculkan seorang mujaddid. Bisa dikatakan Tjokroaminoto adalah seorang waliyullah, mengingat singkatan nama depannya Habib/Haji Oemar Said (HOS).
Berawal dari tonggak kebangkitan sosial-politik Indonesia yang diprakarsai HOS Tjokroaminoto pada 1911, sekitar tahun 2011 sebagai buahnya. Buah artinya  zaman Kalasuba (keemasan). Konon Tjokroaminoto ketika itu disebut-sebut sebagai Ratu Adil, tapi beliau menolaknya. Faktanya beliau yang memprakarsai kebangkitan politik Indonesia di tengah penjajahan Belanda. Pada 1911 Tjokroaminoto mendirikan Sarikat Islam (SI) yang terbuka untuk umum. SI merupakan embrio “agama  Budi” yang akan muncul sekitar tahun 2011.
Sebagai tokoh yang berdarah priyayi, semestinya Tjokroaminoto lebih tertarik pada organisasi Budi Utomo. Namun, beliau tak tertarik pada organisasi priyayi itu. Pada diri beliau lebih banyak dialiri darah buyutnya, Kyai Bagus Kasan Besari. Garis perjuangannnya didasarkan pada suara rakyat yang kental dengan nuansa religius. Bagi kolonialis Belanda, agama yang telah bersemayam di dada rakyat sama dengan tanah air. Oleh karena itu, dipilihnya SI sebagai wahana untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang hendak memerdekakan tanah air dari penjajahan. Tjokroaminoto membangkitkan kesadaran nasional melalui iman rakyat.
Beberapa tokoh pergerakan nasional tergabung dalam SI. Mereka berasal dari berbagai aliran ideologi, seperti nasionalisme dan komunisme. Ki Hajar Dewantara berasal dari nasionalisme radikal. Soekarno dari nasionalisme moderat. Mayoritas tokoh PKI tergabung dalam SI, di antaranya Tan Malaka. Banyak kalangan agamawan yang tergabung dalam SI, seperti KH Hasyim ‘Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.
Sekitar tahun 2011 merupakan jayaning ubaya, kemenangan janji Tuhan.  Rentang waktu 1911 hingga 2011 (100 tahun) sudah saatnya Tuhan memunculkan seorang mujaddid. Jayaning ubaya diwujudkan dengan tampilnya seorang mujaddid sebagai “Rajawali.” Dialah yang akan mengaplikasikan “agama Budi.” Artinya, agama yang menekankan rohmatan lil ‘alamin atau memayu hayuning bawana.
Abah Syarif Hidayatulloh Hadiwijoyodiningrat sepantasnya ditempatkan sebagai “Rajawali” di Nusantara. Apalagi Abah Syarif punya garis keturunan dari Raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V. Kyai Thohir Wijaya (alm) dari Blitar terkenal sebagai guru politik Abah Syarif. Abah Syarif termasuk santri pilihan Kyai Thohir.   Konon,  Presiden Soeharto (alm) sering minta masukan kepada Kyai Thohir dalam urusan perundangan-undangan negara. Penghormatan Presiden Soeharto terhadap Kyai Thohir Wijaya di era Orde Baru menjadikan Abah Syarif dikenal di lingkungan Istana Negara. Sampai sekarang Abah Syarif disegani sebagai spiritualis “sakti” di lingkungan Istana.  Namun, “kesaktiannya” berseberangan dengan kepentingan dukun dan paranormal. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas Abah Syarif  sebagai waliyullah yang mendapatkan karomah. Beliau siap menjadi “Raja” di Nusantara, sehingga menjadi “Rajawali.”
Majlis pengajian Abah Syarif lain dengan majlis kyai-kyai pada umumnya yang hanya terbuka untuk golongan tertentu. Terbukanya majlis Abah Syarif untuk semua golongan dan aliran sebagai cermin dari subordinasi agama-agama di bawah “agama Budi.”
Tanda-tanda jumeneng natanya Abah Syarif pun sudah nampak. Sejak usia belia nampak tanda-tanda anugerah Tuhan kepadanya untuk tampil sebagai pemimpin umat dan bangsa, seperti keunggulannya dalam mengembara mencari kebenaran untuk diamalkan.  Kesabaran, keteguhan dan ketabahan Abah Syarif secara fisik maupun mental sudah diakui keunggulannya oleh kalangan Polri dan TNI.
Mantan pejabat yang berani berpidato bahwa Abah Syarif sepantasnya dicalonkan sebagai Presiden RI adalah Jenderal Syamsu Djalal, Kepala Polisi Militer ABRI di era Soeharto. Hal ini diutarakan pada 2006 ketika mantan Kepala PM tersebut menghadiri HUT Ponpes Nurul Huda yang ke-20 di Plosorejo, Gondang, Sragen, Jawa Tengah. Samuel, “Santri” Abah Syarif dari Papua yang beragama Nasrani pun mengakui kepemimpinan Abah Syarif. Samuel bahkan mengatakan, Abah Syarif itu “bukan manusia.” Artinya, bukan manusia sembarangan.
Jayabaya telah mengukir sejarah kepemimpinan hingga mampu menjadikan Kediri sebagai baldatun thayyibatun wa robbun ghafur. HOS Tjokroaminoto sebagai peletak dasar perubahan sosial-politik Indonesia di tengah penjajahan Belanda. Sedang  Abah Syarif ditunggu kepemimpinannya di Nusantara, dengan mengenyahkan budaya mentalitas   bangsa yang kerasan “dijajah.” Beliau menekankan tegaknya “agama Budi” yang bersifat rohmatan lil ‘alamin.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar