Jayabaya: Kemenangan Wali
Posmo
edisi 648, tertanggal 26 Oktober 2011 pada rubrik Laporan Utama dilansir
pendapat beberapa orang dari kalangan spiritualis dan peneliti naskah kuno
tentang Jangka Jayabaya. Dari kalangan spiritualis adalah Jefri Samudra. Sedang
dari kalangan peneliti naskah kuno adalah saudara Sinung Janutama.
Saudara Sinung
bicara tentang cara menjelaskan kondisi saat ini sebagai zaman yang dimaksud
dalam Jangka Jayabaya.
“Kita berada
di zaman Kalabendhu (edan, pen.),” papar Sinung,”…semua yang terjadi selama
dalam zaman Kalabendhu adalah sarana untuk melahirkan Joko Lodhang yang
menjelma sebagai Satria Piningit.” Lebih jauh Sinung menyatakan bahwa satria
piningit tidak bisa berbuat apa-apa jika rakyat tidak bergerak untuk melakukan
perubahan. Ia akan masuk lagi ke alam gaib dan bahkan tidak pernah akan muncul
lagi.
“Jayabaya itu
dari kata jayaning ubaya. Artinya, menangnya janji Tuhan,” tutur Sinung.
Dengan kesucian mata batinnya, Prabu Jayabaya diberi anugerah berupa wahdat
al-Syuhud, weruh sadurunge winarah. Ajaran inilah yang kemudian dikemas
dalam sebuah Jangka Jayabaya pada 1157 Masehi. Ajaran ini ditulis ulang oleh
R.Ng Ronggowarsito pada abad ke-19.
Prabu Jayabaya
adalah raja terbesar dari Kediri .
Ia jumeneng nata pada 1157 Masehi. Jayabaya mampu membangun Kerajaan Kediri
menjadi gemah ripah loh jinawi sehingga sebagai negara terkaya di dunia.
Jayabaya punya guru bernama Ngali Syamsuen. Nama Ngali Syamsuen, bila diucapkan
dengan lisan Arab menjadi ‘Ali Syamsun.
Dengan demikian Jayabaya sebenarnya seorang raja sekaligus wali,
“rajawali.”
Sedang
spiritualis Jefri Samudra mengacu pada Serat Sasongkojati bahwa Pakem Jayabaya
sekarang sudah memasuki zaman Kalabendhu. Untuk memasuki zaman Kalasuba
(keemasan) harus melalui zaman Goro-goro dan membutuhkan waktu selama 20 tahun.
Zaman Goro-goro adalah masa hancurnya kebudayaan buruk menuju baik. Sekarang
sudah menjelang zaman Goro-goro, yang ditandai dengan lahirnya “agama Budi.”
Agama-agama yang ada akan menyesuaikan dengan “agama Budi.” Berdasarkan Pakem
Jayabaya, setelah 5 abad mendatang Indonesia meninggalkan agama yang
dibawa orang asing dan muncul Ratu Adil. Dialah sang ratu yang akan memimpin
Nusantara.
Yang
hendak penulis tanggapi dari saudara Sinung adalah siapa sebenarnya sang ratu
adil yang akan memimpin Nusantara. Sebab, kesimpulan saudara Sinung masih
abstrak mengenai sosok ratu adil. Maka dalam tulisan ini figur yang konkret
akan melengkapi ilmu “jangka kewalian” tersebut, siapa sang ratu adil itu. Ilmu
“jangka kewalian” tanpa dilengkapi dengan kepekaan membaca alam maupun figur
tokoh yang nyata, tentu kehilangan “daya gugah” bagi kawula atau rakyat. Dan
ini akan memperlambat proses jumeneng natanya satria piningit.
Penulis
sepakat dengan saudara Sinung dan Jefri Samudara bahwa sekarang kita sudah
masuk zaman Kalabendhu. Hal itu selaras dengan kepekaan batin dalam membaca
tiga watak buruk zaman ini, yaitu artati, gila harta; nistana,
hina; jutya, julik, jahat dan bejat. Pernyataan spiritualis Jefri
Samudra soal waktu 20 tahun yang dibutuhkan zaman Goro-goro, sebagai masa
transisi menuju zaman Kalasuba, itu pendapat yang bisa diperdebatkan. Sebab, hal itu tergantung kesiapan rakyat (meski
hanya sebagian kecil) dalam menyongsong kehadiran satria piningit.
Jayabaya,
HOS Tjokroaminoto dan Abah Syarif
Ketika
jumuneng nata, Jayabaya adalah sosok ratu adil. Pengertian ratu adil tak bisa
dilepaskan dari konteks “rajawali”, yaitu kepemimpinan waliyullah dalam sebuah
negara. Dari kepemimpinan “rajawali” inilah kebudayaan buruk mengalami
kehancuran, sehingga yang ada hanya kebudayaan bagus. Artinya, kebudayaan yang
menjunjung nilai dan norma ajaran Tuhan. Kemenangan wali ditandai dengan
dominasi nilai dan norma Tuhan atas nafsu syaithaniyah yang bersinergi
dengan nafsu manusia.
Tak mungkin
kemenangan waliyullah didorong oleh nafsu, seperti motivasi materi. Belakangan
kita menyaksikan di layar televisi, Amerika Serikat dan sekutunya mengalami kemenangan atas rezim
Libya Khadafy. Sebelumnya mereka juga menang atas rezim Iraq Saddam. Namun,
kemenangan Barat atas rezim-rezim di Timur Tengah itu dilatarbelakangi oleh
keserakahan nafsu, yaitu menguasai sumur-sumur minyak. Cara memperoleh
kemenangannya menghalalkan segala cara! Bukan itu latar belakang kemenangan
wali! Kemenangan wali dilatarbelakangi oleh panggilan nurani suci untuk
menegakkan nilai dan norma Tuhan. Itulah kemenangan “agama Budi.” Di zaman
Kalasuba nanti semua agama akan mensubordinasikan di bawah “agama Budi” ini.
Di Nusantara
sekarang sudah muncul seorang waliyullah yang siap menjadi raja, calon
“Rajawali.” Siapa dia?
Penulis
berargumen bahwa pada 2011 saatnya Allah memunculkan seorang mujaddid
(pembaru). Hal ini mengingat pada 1911, HOS Tjokroaminoto meletakkan dasar
perubahan sosial-politik di Indonesia .
Rumus tersebut didapat dari Nabi Muhammad SAW, bahwa tiap satu abad Allah pasti
memunculkan seorang mujaddid. Bisa dikatakan Tjokroaminoto adalah seorang
waliyullah, mengingat singkatan nama depannya Habib/Haji Oemar Said (HOS).
Berawal dari
tonggak kebangkitan sosial-politik Indonesia yang diprakarsai HOS
Tjokroaminoto pada 1911, sekitar tahun 2011 sebagai buahnya. Buah artinya zaman Kalasuba (keemasan). Konon
Tjokroaminoto ketika itu disebut-sebut sebagai Ratu Adil, tapi beliau
menolaknya. Faktanya beliau yang memprakarsai kebangkitan politik Indonesia
di tengah penjajahan Belanda. Pada 1911 Tjokroaminoto mendirikan Sarikat Islam
(SI) yang terbuka untuk umum. SI merupakan embrio “agama Budi” yang akan muncul sekitar tahun 2011.
Sebagai tokoh
yang berdarah priyayi, semestinya Tjokroaminoto lebih tertarik pada organisasi
Budi Utomo. Namun, beliau tak tertarik pada organisasi priyayi itu. Pada diri
beliau lebih banyak dialiri darah buyutnya, Kyai Bagus Kasan Besari. Garis
perjuangannnya didasarkan pada suara rakyat yang kental dengan nuansa religius.
Bagi kolonialis Belanda, agama yang telah bersemayam di dada rakyat sama dengan
tanah air. Oleh karena itu, dipilihnya SI sebagai wahana untuk memperjuangkan
aspirasi rakyat yang hendak memerdekakan tanah air dari penjajahan.
Tjokroaminoto membangkitkan kesadaran nasional melalui iman rakyat.
Beberapa tokoh
pergerakan nasional tergabung dalam SI. Mereka berasal dari berbagai aliran
ideologi, seperti nasionalisme dan komunisme. Ki Hajar Dewantara berasal dari
nasionalisme radikal. Soekarno dari nasionalisme moderat. Mayoritas tokoh PKI
tergabung dalam SI, di antaranya Tan Malaka. Banyak kalangan agamawan yang
tergabung dalam SI, seperti KH Hasyim ‘Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.
Sekitar tahun
2011 merupakan jayaning ubaya, kemenangan janji Tuhan. Rentang waktu 1911 hingga 2011 (100 tahun)
sudah saatnya Tuhan memunculkan seorang mujaddid. Jayaning ubaya
diwujudkan dengan tampilnya seorang mujaddid sebagai “Rajawali.” Dialah yang
akan mengaplikasikan “agama Budi.” Artinya, agama yang menekankan rohmatan
lil ‘alamin atau memayu hayuning bawana.
Abah Syarif
Hidayatulloh Hadiwijoyodiningrat sepantasnya ditempatkan sebagai “Rajawali” di
Nusantara. Apalagi Abah Syarif punya garis keturunan dari Raja Majapahit
terakhir, Prabu Brawijaya V. Kyai Thohir Wijaya (alm) dari Blitar terkenal
sebagai guru politik Abah Syarif. Abah Syarif termasuk santri pilihan Kyai
Thohir. Konon, Presiden Soeharto (alm) sering minta masukan
kepada Kyai Thohir dalam urusan perundangan-undangan negara. Penghormatan
Presiden Soeharto terhadap Kyai Thohir Wijaya di era Orde Baru menjadikan Abah
Syarif dikenal di lingkungan Istana Negara. Sampai sekarang Abah Syarif
disegani sebagai spiritualis “sakti” di lingkungan Istana. Namun, “kesaktiannya” berseberangan dengan
kepentingan dukun dan paranormal. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas Abah
Syarif sebagai waliyullah yang
mendapatkan karomah. Beliau siap menjadi “Raja” di Nusantara, sehingga menjadi
“Rajawali.”
Majlis
pengajian Abah Syarif lain dengan majlis kyai-kyai pada umumnya yang hanya
terbuka untuk golongan tertentu. Terbukanya majlis Abah Syarif untuk semua
golongan dan aliran sebagai cermin dari subordinasi agama-agama di bawah “agama
Budi.”
Tanda-tanda
jumeneng natanya Abah Syarif pun sudah nampak. Sejak usia belia nampak
tanda-tanda anugerah Tuhan kepadanya untuk tampil sebagai pemimpin umat dan
bangsa, seperti keunggulannya dalam mengembara mencari kebenaran untuk
diamalkan. Kesabaran, keteguhan dan
ketabahan Abah Syarif secara fisik maupun mental sudah diakui keunggulannya
oleh kalangan Polri dan TNI.
Mantan pejabat
yang berani berpidato bahwa Abah Syarif sepantasnya dicalonkan sebagai Presiden RI
adalah Jenderal Syamsu Djalal, Kepala Polisi Militer ABRI di era Soeharto. Hal
ini diutarakan pada 2006 ketika mantan Kepala PM tersebut menghadiri HUT Ponpes
Nurul Huda yang ke-20 di Plosorejo, Gondang, Sragen, Jawa Tengah. Samuel,
“Santri” Abah Syarif dari Papua yang beragama Nasrani pun mengakui kepemimpinan
Abah Syarif. Samuel bahkan mengatakan, Abah Syarif itu “bukan manusia.”
Artinya, bukan manusia sembarangan.
Jayabaya telah
mengukir sejarah kepemimpinan hingga mampu menjadikan Kediri sebagai baldatun thayyibatun wa
robbun ghafur. HOS Tjokroaminoto sebagai peletak dasar perubahan
sosial-politik Indonesia
di tengah penjajahan Belanda. Sedang
Abah Syarif ditunggu kepemimpinannya di Nusantara, dengan mengenyahkan
budaya mentalitas bangsa yang kerasan
“dijajah.” Beliau menekankan tegaknya “agama Budi” yang bersifat rohmatan
lil ‘alamin.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar