Selasa, 08 November 2011

Abah Syarif, Sang Penyelamat


Muqoddimah

A
ku berlindung kepada Alloh SWT dari godaan syetan yang terkutuk. Dengan nama Alloh SWT yang Maha Pemurah lagi Penyayang.
Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan karena ulah tangan manusia.  Salah satu kerusakan tersebut adalah carut-marutnya kondisi sosial-kemasyarakatan di negeri kita dewasa ini.
Selaku pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Gondang Sragen, Abah Syarif Hidayatulloh Hadiwijoyodiningrat berani bicara apa adanya tentang kondisi sosial-kemasyarakatan tersebut. Sosok kyai yang disegani para pejabat negara ini sudah kehilangan rasa takutnya kepada siapapun, kecuali kepada Alloh SWT.
Beliau mewakili wong cilik dalam menyampaikan aspirasinya. Figur kyai yang kondang “kesaktiannya” ini memiliki ilmu rasa, sehingga beliau mampu berempati terhadap penderitaan kaum lemah yang diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesaktiannya bukan karena bantuan jin, tapi malaikat. Dengan demikian selayaknya beliau disebut waliyullah lantaran karomahnya tersebut. Beliau siap berjuang untuk agama, negara dan bangsa tanpa basa-basi.
Kekayaannya yang melimpah didermakan untuk kaum lemah, yaitu orang-orang teraniaya dan fakir-miskin. Beliau dan keluarganya hanya secukupnya mengambil rezeki yang dilimpahkan Alloh SWT. Kapasitas ketokohannya sebagai pertanda bahwa beliau akan hadir jumeneng noto pascakepemimpinan yang keenam di Nusantara. Hal ini sesuai dengan jangka Jayabaya dan Ronggowarsito. Jayabaya adalah seorang raja Kediri yang arif-bijaksana yang memeluk Islam. Ronggowarsito adalah  pujangga Muslim pada abad ke-19 yang memiliki ketajaman batin.
Pemikiran Abah Syarif yang metafisis-agamis sekaligus matematis dalam urusan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara sepantasnya menjadi Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu di Nusantara.


Santrine





Sang Penyelamat
           
S
atrio Pinandhito Sinisihan Wahyu (waliyullah pemimpin yang terbimbing wahyu) ini merupakan sosok pemimpin mendatang yang diharapkan menyelamatkan umat dan  bangsa, bukan sekadar Nusantara.  
            Pinandhito sinisihan wahyu bisa dikatakan sebagai wali yang sudah mencapai puncak ajaran ma’rifat. Artinya, Tuhan menjadi pendengarannya ketika ia mendengar; Tuhan menjadi penglihatannya ketika ia melihat; Tuhan menjadi tangannya ketika ia bertindak. Wajar jika kehendaknya sebagai penjelmaan kehendak Tuhan. Sosok pemimpin inilah yang akan hadir di Nusantara pascakepemimpinan yang keenam, sesuai jangka Ronggowarsito.
Manunggaling kawula-Gusti (menyatunya hamba dengan Tuhan), artinya kehendak hamba manyatu dengan kehendak-Nya. Istilah tersebut tidak berkonotasi sesat, karena klausula jawa tersebut ada keterangannya. Ing sirnaning kawula tan dadi Gusti (ketiadaan kehendak hamba bukan berarti ia menjadi Tuhan). Oleh karena itu tak salah jika  pemimpin yang akan datang adalah sosok pandhito yang telah “manunggal” dengan Tuhan. Pemimpin tersebut memahami dan mengamalkan tasawuf yang merupakan bagian dari ajaran Islam.

Apa itu Tashawwuf (tasawuf)?

            Ta’ berarti taubat; shad berarti pembersihan jiwa dan hati; wawu berarti wilayah (kewalian) dan fa’ berarti fana. Seorang sufi harus bertaubat, membersihkan jiwa dan hati dari sumber penyakit, yaitu syirik di dalam jiwa dan hatinya yang berujung pada duniawi. Terciptalah keheningan hati dan jiwanya, dengan dzikrullah yang diucapkan lisan dan meresap ke dalam hati. Fanalah segala sesuatu dalam dirinya selain Alloh (fanaillah) sehingga lebur dan larut ke dalam sifat-sifat ketuhanan. 
            Sebagian orang Islam kini antipati terhadap tasawuf, karena sikap ketergesaannya dalam menilai ilmu tersebut. Sikap ketergesaannya itu mungkin disebabkan pengamatannya yang sekilas tentang sufi (pelaku tasawuf) yang “tak sesuai” dengan kitab Alloh dan sunnah Rasul-Nya. Ada sufi yang menyimpang, tapi ilmu tasawuf tidak demikian halnya.
Tasawuf bukanlah sebuah ilmu rahasia yang penuh misteri atau sulit dipahami. Semua orang pada dasarnya membutuhkan tasawuf, dan tasawuf diperuntukkan  manusia. Tasawuf bukan untuk golongan masyarakat tertentu. Hanya saja olah rasa dan nalar masing-masing orang tidak sama dalam menyikapi ilmu tasawuf.
            Ali bin Abu Tholib, sahabat Nabi yang paling sering dijadikan rujukan sufistik. Beliau pernah ditanya,”Punyakah Anda wahyu selain yang tersurat dalam Al-Qur’an?”
            “Tidak,” jawab Ali,”saya tak tahu hal itu selain pemahaman terhadap Al-Qur’an yang Alloh berikan kepada seseorang berikut pengertian kandungan mushaf tersebut.”   (HR. Bukhari, Tirmidzi, Abu Daud, Nasai dan Ahmad).
            Dalam khazanah tasawuf asma “Alloh” boleh diganti dengan yang lain, karena “Alloh” hanya menunjukkan Dzat Ilahi. Dalam beberapa thoriqot (tarekat) sering para guru memutuskan nama Alloh yang berbeda bagi masing-masing muridnya, sesuai keadaan dan kemampuan ruhani sufi. Asma Alloh bisa berubah menjadi Gusti, Dzat Maulana, Sang Hyang Widhi, Pangeran, Gusti Alloh dan sebagainya.

Tanda-tanda Pemimpin yang ngamandhito
           
            Tahun 2011 genap seabad perjalanan kebangkitan politik di Indonesia sejak dirintis Bapak Politik Indonesia, HOS Tjokroaminoto (1883-1934). Dalam masa seabad  umat Islam pasti mengalami titik beku dalam pengamalan ajaran Islam, sehingga Alloh memunculkan seorang mujaddid (pembaru). Tjokroaminoto ketika itu sebagai mujaddid, pembaru dalam membimbing umat Islam.
Konon singkatan HOS bukan semata-mata kepanjangan dari Haji Oemar Said, tapi lebih bermakna “Habib Oemar Said.” Kata “Habib” berkonotasi sebagai waliyullah (kekasih Alloh).  Di masa mudanya, nampak tanda-tanda kepemimpinan beliau yang menonjol. Pada 1911 Tjokroaminoto membentuk organisasi sosial-keagamaan, SI (Sarekat Islam). Ketika itu beliau masih berusia 30 tahun. SI berkembang pesat sehingga memiliki anggota yang tersebar di seluruh Indonesia. Penjajah Belanda pun curiga, sehingga SI dianggap organisasi yang berbahaya. 
Di awal 2011 ini umat Islam Indonesia khususnya juga mengalami titik kebekuan dalam pengamalan rukun Islam, lalu siapakah sosok mujaddid yang akan membimbing mereka?
          Dialah sosok yang mendeklarasikan dirinya sebagai bocah angon (sang penggembala), sebagaimana yang tersirat dalam tembang Ilir-ilir, karya Sunan Kalijaga. Sang penggembala adalah  waliyullah. Dalam filosofi kepemimpinan bocah angon, pemimpin harus berada di depan, tengah dan belakang. Ia harus ngemong sesama umat Tuhan. Pemimpin harus bisa nyamodra dalam pergaulannya sesama umat beragama.
Dialah yang kental dengan pengamalan ilmu Hasta Brata, ilmu tentang perwatakan kepemimpinan. Delapan perwatakan alam, yaitu bumi, api, air, angin, samudra, rembulan, matahari dan bintang menjadi watak kepemimpinannya.
Pertama, wataknya bumi. Maknanya, suka berderma. Tanah tak pernah berkeluh-kesah, meski diinjak-injak. Tanah bekerjasama dengan api, karena di dalam bumi ada api.
Kedua, wataknya air. Maknanya, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah dan selalu bersikap rendah hati dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, wataknya angin. Maknanya, selalu meneliti dan menelusup ke manapun, sehingga mengetahui persoalan-persoalan di masyarakat.
Keempat, wataknya lautan. Maknanya. Luas hati dan siap menampung keluhan orang lain tanpa merasa terbebani.
Kelima, wataknya rembulan. Memberikan penerang kepada orang lain.
Keenam, wataknya matahari. Memberikan daya dan energi kepada orang lain secara terus-menerus.
Ketujuh, wataknya api. Mengatasi masalah tanpa pilih kasih.
Kedelapan, wataknya bintang. Menunjukkan posisi dan kepribadian, bahkan cita-cita yang tinggi dan kokoh.
Dialah yang akrab dengan lima darmaning satrio.
1.   Mengayomi rohaniawan yang sedan kembali ke alam suci dengan olah rasa nur Alloh sejati dan menahan nafsu, sehingga membuahkan kehidupan yang langgeng.
2.   Memelihara keselamatan negara dan bumi kelahiran.
3.   Mencintai bangsa dan kasih sayang pada rakyat jelata.
4.   Menepati janji yang sudah diucapkan.
5.   Tunduk pada kebenaran berdasar keadilan.
Dialah yang berhasil menjauhi sikap adigang, adigung, adiguna. Adigang, mengandalkan kedudukan. Adigung, mengandalkan “tinggi-besar.” Adiguna, mengandalkan senjatanya yang mematikan.
Dialah yang menguasai dan mengamalkan kepemimpinan Punakawan dalam jagad pewayangan, yaitu tanggap ing sasmito lan limpat pasang ing grahita (tanggap sekaligus cekatan dan memasang nalar dengan baik). Silakan Anda datang tiap malam Ahad Legi di Pondok Pesantren Nurul Huda, Plosorejo, Gondang, Sragen! Tiap malam tersebut, yang mbahureksa pondok, Abah Syarif Hidayatulloh dalam pengajiannya nampak memiliki tanda-tanda dan sifat-sifat kepemimpinan itu.

Sang Penyelamat Umat dan Bangsa

Di antara sekian ribu kiai di Indonesia, Abah Syarif  termasuk paling berani. Dalam arti berani mengingatkan pejabat tinggi negara yang berbuat salah dengan bahasa sanepan. Di antara perjalanan hidupnya yang paling berkesan sekaligus terasa nikmat di hati Abah Syarif adalah membangun masjid. Sudah ada beberapa masjid yang beliau dirikan yang kekuatan bangunannya jauh melebihi masjid-masjid pada umumnya. Penampilannya yang nyeleneh tak seperti kebiasaan kiai pada umumnya, membuat banyak orang sering tak percaya beliau sebagai kiai. Bukan ke-nyeleneh-an yang menjadi tujuannya, tapi bahasa simbolik yang menjadi media ekspresinya. Misalnya, kebiasaan mengenakan kaos oblong ketika memberikan wejangan di panggung. Juga kebiasaannya mengeluarkan kata-kata yang polos dalam membuka wadi seseorang, meski banyak kata sindirian yang dilontarkan.
Anggota pengajiannya bukan hanya terdiri dari golongan intern tertentu umat Islam, tapi dihadiri dari beragam intern Islam maupun antarumat beragama. Jarang sekali kiai yang memimpin pengajian yang anggotanya dari berbagai golongan semacam ini. Calon pejabat, pejabat maupun mantan pejabat sering berkunjung kepada beliau. Sudah banyak alumni santrinya yang menjadi anggota aparat negara, sehingga begitu dihormati beliau di kalangan aparat.
Tiap malam Ahad Legi, Abah Syarif selalu istiqomah mengadakan pengajian umum yang di pesantrennya. Pengajian ini selalu diiringi dengan pergelaran wayang kulit.
            Selain memiliki trah Browijoyo V/ Prabu Kertabumi, Prabu Majapahit, Abah Syarif juga mendapatkan anugerah kecerdasan ruhani. Di antara ciri orang yang mendapatkan kecerdasan ruhani adalah:
1.   Merdeka lahir batin
2.   Merasakan malaikat pengiring yang dihadirkan Alloh.
3.   Bersikap optimis, aktif dan berani.
4.   Berakhlak dengan akhlak Alloh.
5.   Bersama dengan Alloh.

Keislaman Browijoyo V

Browijoyo V adalah seorang Muslim. Keislamannya diawali dengan perdebatan teologis antara Sunan Kalijaga dengan Prabu Browijoyo.
Sang Prabu bertanya, ”Syahadat itu seperti apa? Aku belum tahu. Silakan ucapkan, akan kudengarkan.”
Sunan Kalijaga menjawab,”Asyhadu alla ilaha illAllohu wa asyhadu anna Muhammadar rosululloh” (Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Alloh dan  Kanjeng Nabi Muhammad utusan Alloh).
Sunan Kalijaga banyak memberikan wejangan kepada Prabu sehingga beliau mau mengucapkan syahadat. Setelah mengucapkan syahadat, Sang Prabu minta rambutnya dicukur Sunan. Ketika  digunting, rambutnya tak putus.
“Prabu dimohon Islam lahir-batin,” kata Sunan,”bila Islamnya lahir saja, rambutnya tak mempan digunting.”
Prabu Browijoyo V pun masuk Islam lahir-batin, meninggalkan agama Budha. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa negeri Majapahit sebagai Kesultanan Majapahit.  Situs tentang keislaman Browijoyo V terdapat  di Candi Cetho, daerah  gunung Lawu. Di tempat yang teratas, nampak petilasan Browijoyo V sebagai tempat shalatnya. Di situ terdapat miniatur Ka’bah. Patung Browijoyo V yang wajahnya mirip Abah Syarif juga berada di situ. Di tempat teratas Candi Cetho ini tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalamnya. Juru kuncinya hanya mempersilakan orang-orang tertentu yang boleh memasukinya, termasuk Abah Syarif.
Sesuai sabda Browijoyo V, bahwa keturunannya yang akan menyelamatkan Nusantara kelak berasal dari sekitar gunung Lawu.  Rumah Abah Syarif terletak di utara gunung Lawu dan selatan Bengawan Solo. Kehadirannya untuk jumeneng noto ditandai dengan meletusnya gunung Merapi yang laharnya menuju ke arah barat daya.
Abah Syarif yang kini berusia 54 tahun, sejak usia belianya gemar melakukan pengembaraan ruhani untuk mengenal Alloh. Pernah beliau berjalan kaki dari Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur ke Banten. Sekitar  13 tahun beliau melakukan tapabrata ora larabranta (meditasi tanpa terganggu urusan dunia) di hutan sehingga hanya memakan dedaunan dan buah yang ada di hutan. Pada usia  9 tahun dia sudah pernah bermimpi keluar dari jagad dunia ini. Demikianlah kebiasaan perilaku kekasih Alloh, sejak usia belianya  banyak melakukan suluk (perjalanan spiritual). Seperti halnya Nabi Ibrahim mencari Tuhannya dan menemukan puncak ma’rifat kepada-Nya.

Kesaksian mantan preman

Abah Syarif bukanlah tipe orang yang sombong, yakni meremehkan orang lain dan menolak kritik membangun. Pergaulannya nyamodra, dari pejabat,  rakyat jelata dan bahkan preman ia sambangi. Beliau memperbaiki mentalitas preman dengan singkatan diagnosis “gali”, yaitu gelem amal lan ibadah (mau beramal dan ibadah). Hal itu diungkapkan Ribut, santrinya yang mantan preman di daerah Klaten, Jawa Tengah. Ia termasuk yang paling memusuhi Abah Syarif sebelum menjadi santrinya. Kesantriannya diawali dengan tindakan onarnya membubarkan acara pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki Enthus Susmono di Klaten pada 2005. Sang dalang sempat mendapat bogem dari Ribut. Namun, batin Ribut begitu gemetar ketika mendengar bahwa Ki Enthus sebagai santri Abah syarif yang kondang “kesaktiannya” itu.  Ia merasa bersalah dan ketakutan. Maka ia pun puasa selama 3 hari seraya menyendiri di kamar. Yang ia pendam dalam batinnya adalah sang guru, Abah Syarif.
Beberapa hari kemudian Ribut dihampiri salah seorang santri Abah Syarif sembari berkata kepadanya,”Salam dari Abah Syarif untukmu, silakan temui beliau.”  Ribut amat cemas, isi hatinya berkata,”Jangan-jangan aku dibuat celaka oleh Abah Syarif lantaran tindakanku menghakimi Ki Enthus.”
Dalam perjalanannya menemui Abah Syarif hatinya berdzikir. Sampailah Ribut di Rumah Makan Lemah Abang dan Abah Syarif sedang mengadakan rapat dengan beberapa anggota DPR. Ketika Ribut datang, Abah Syarif menunda rapat demi menemui Ribut. “Sekarang aku menjadi santri Abah,” kata Ribut di depan Abah Syarif.
“Tidak,” sahut Abah Syarif,”kamu menjadi keluargaku.”
Kini Ribut menjadi santri sekaligus “keluarga besar” Abah Syarif.
Banyak pejabat tinggi negara yang segan dengan beliau, sehingga beliau dijuluki “Kiai Sakti.” Sesama antarumat beragama, beliau juga nyamodra. Lingkup pergaulannya dari Sabang sampai Merauke.
Beliau juga gemar mencari ilmu untuk diamalkan. Karya-karyanya beliau pergunakan semaksimalnya untuk melayani dan menghibur wong cilik, seperti rumah makan guna menggembleng santrinya kelak mencari nafkah. Kekayaannya yang melimpah tak melalaikannya untuk selalu dzikir. Ajaran ma’rifatnya adalah “masuknya nafas taubat dan taat (kepada Alloh), sedang keluarnya nafas raga menguntungkan orang lain.”
Tanah yang sekian luas sebagai buah usahanya, tak ada sejengkal pun yang diatasnamakan dirinya dalam sertifikat. Semua diatasnamakan yayasan Nurul Huda.  Dengan demikian Abah Syarif tidak mewariskan sejengkal tanah kepada keluarganya sepeninggal beliau.
Bangunan pondok pesantren Nurul Huda, masjid dan alun-alun menjadi satu kompleks. Kompleks seluas itu, 25 tahun yang lalu berupa pondok kecil dengan dinding gedhek.  Atas limpahan karunia Alloh, beliau menguasai lahan yang luas di Plosorejo.
Abah Syarif meniru Guru Agung manusia, Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin umat sekaligus pemegang kunci perbendaharaan Baitul Mal dari kekuasaan yang membentang di Jazirah Arab. Beliau bertempat tinggal di sebelah masjid dan sering mengganjal perutnya karena lapar. Ketika wafat, beliau tak meninggalkan secuil pun harta warisan untuk putera-puteri dan cucu-cucunya. Beliau hanya mewariskan kitab Alloh dan keteladanan bagi manusia.
Keempat orang sahabat pengganti Nabi saw, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali rodhiyAllohu anhum adalah insan kamil yang menjadi cermin kewakilan atas asma, sifat dan perilaku Alloh.
Ilmu  kesenian dan kebudayaan Abah Syarif dipergunakan untuk menghibur sekaligus mendidik masyarakat kecil, seperti gamelan dan tayub. Gamelan mengingatkan kita pada gong Sunan Bonang dan Sunan Kudus. Tayub (ditata ben guyub, diatur agar terjadi kerukunan) pada dasarnya mengandung nilai-nilai religius, sebelum tercampur dengan budaya Barat. Begitu akrab beliau dengan ruh Al-Qur’an dalam kesehariannya. Sikap Abah Syarif yang menyesuaikan diri terhadap kebudayaan Jawa, terbuka terhadap agama lain serta semangat pembelaannya terhadap wong cilik merupakan buah dari ma’rifatnya. Beliau senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf berarti berbuat baik sekaligus teladan. Nahi munkar berarti teladan kebaikan sekaligus berani mengingatkan orang yang salah. Demikianlah tanda-tanda pemimpin yang ngamandhito (menjadi ulama).
Semuanya dilakukan dalam rangka memayu hayuning bawana (menjaga kelestarian dan kesejahteraan alam) atau rohmatan lil ‘alamin.

Maneges
           
Tahun-tahun menjelang habisnya kepemimpinan yang keenam di Nusantara, Abah Syarif Hidayatulloh melakukan maneges. Beliau hendak menegaskan melalui lubuk hatinya terdalam, apakah Alloh akan menjadikannya sebagai “utusan-Nya untuk jumeneng noto?” Beliau seringkali manages ke Tuban,”Kapan aku jumeneng noto?” Lebih jelas lagi beliau menorehkan tulisan terpampang di atas pintu toilet Masjid Rumah Makan Lemah Abang,”Ingsun jumeneng noto.” (Aku jumeneng noto).
Musyahadah sedang beliau lakukan. Musyahadah adalah sejenis pengetahuan langsung tentang hakikat yang disaksikan. Syahadat adalah proses penyaksian langsung melalui hati yang bening. Syahadat dalam lingkup ma’rifat bukan sekadar syahadat lisan, tapi kesadaran dari apa yang dirasakan lubuk hati yang terdalam.
            Syahadat Tauhid adalah syahadat kemanunggalan dengan Gusti (Alloh). Syahadat Rosul sebagai efek langsung di dunia fisik. Syahadat manusia yang sebenarnya mengemban fungsi sebagai kholifah Alloh di muka bumi.
            Pertama, manusia harus berperilaku sebagaimana Alloh berperilaku, dengan menekankan kejujuran, kasih-sayang dan mandiri.
Kedua, derajat manusia sama. Mereka harus tolong-menolong. Oleh karena itu manusia tak berwenang menyetir orang lain, tapi Allohlah yang berwenang.
Ketiga, tak perlu ada simbol-simbol keagamaan yang harus dibela, karena manusia sejiwa dengan Alloh Yang Maha Melindungi.
Keempat, dalam diri manusia telah disemayamkan nur Muhammad, sehingga ia diberi kesempatan untuk menelusuri jalan kebenaran sebagaimana yang dilakukan Nabi saw. Beliau ber-tahannuts (meditasi) dan ber-kholwat (menyendiri) di gua Hiro’ sampai bertemu dengan kebenaran itu sekaligus pengangkatan dirinya sebagai nabi (kholifah Alloh). Kebenaran  itu didayagunakan untuk kemaslahatan manusia, memayu hayuning bawana. Di sinilah arti pentingnya maneges.
 Kelima, manusia tak boleh terbelenggu harta dan kekuasaan, sehingga mereka selalu berjalin dengan ruh.

Khalifatulloh dan Insan Kamil

            Abah Syarif seringkali mendudukkan kepemimpinan atas agama, bangsa dan negara bertalian dengan mentalitas kholifah. Masyarakat, bangsa dan negara tidak akan mengalami keadilan dan kemakmuran jika pemimpin bangsa dan negara tak mempunyai mentalitas kholifah.
Kata “kholifah” (wakil Alloh) dalam kaitan dengan kholifatulloh fil ardh (kholifah Alloh di muka bumi) merujuk pada al-Wakil, salah satu asma-Nya. Hak fitrah manusia di muka bumi hanyalah sebagai pemelihara dan pengelola bumi. Seorang wakil al-Wakil dilarang merusak sumber daya alam di permukaan dan di perut bumi Alloh. Manusia bukanlah “pewaris” dan penguasa bumi, mengingat bumi bukanlah asal hunian manusia.
            Manusia terbentuk dari dua unsur utama, yaitu tanah dan ruh suci yang ditiupkan Sang Pencipta kepada leluhur manusia Adam ketika di surga. Sebagai wakil Alloh di muka bumi, manusia tak boleh mengiblatkan hati dan pikirannya ke bumi karena bukan tempat kembali manusia setelah mati. Bumi hanya menjadi tempat kembali jasad yang terbuat dari tanah. Bumi hanya hunian sementara. Ruh suci berasal dari Alloh dan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu tak sepantasnya manusia mencintai sesuatu melebihi kecintaan kepada-Nya, di mana ruh itu berasal. Nafsu rendah badani senantiasa mendorong manusia untuk mencintai bumi dan isinya, sehingga menyesatkan dari jalan-Nya.
            Kekholifahan adalah medan pertempuran masing-masing manusia untuk menguji diri. Kekholifahan bisa dicapai dengan bersungguh-sungguh, berani, tawakal dan optimis, dengan ijin Alloh. Bagi pemalas, penakut, mudah putus asa dan pesimis tak akan mendapatkan kedudukan kholifah, sehingga selamanya seperti binatang. Kekholifahan adalah sebuah rentangan kedudukan antara binatang, manusia dan insan kamil.
            Ketika manusia berjuang untuk mencapai kekholifahan, muncullah orang-orang yang berjiwa keledai, unta, kerbau, sapi, kuda beban dan anjing. Merekalah yang mencintai pribadi dengan berlebihan. Kiblatnya bumi dan materi. Mereka memanggul beban nafsu dan pamrih duniawi yang berat.
            Ketika beban tersebut tak dapat disangga lagi, maka yang berjiwa binatang itu menjadi pemangsa bagi sesamanya. Ia memangsa yang lain guna memenuhi hasrat nafsunya yang haus darah.
            Yang lebih tinggi derajatnya dari binatang adalah manusia. Manusia adalah orang yang sadar akan keberadaan dirinya sebagai pemilik kekuasaan kodrati insan kamil, tapi hanya dalam tataran pemikiran dan pemahaman. Mereka gagal menggapai kekholifahan dalam ujud amaliah sehari-hari. Mereka sering terjebak dalam perilaku tak adil, meski sadar hal itu salah.
            “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu…” (QS. 2 : 21)
            Bagi yang berjiwa “manusia” tentu akan tergerak hatinya memenuhi perintah Alloh tersebut, yaitu beribadah kepada Alloh.
            Tingkatan tertinggi adalah insan kamil, yaitu wakil Alloh di muka bumi. Merekalah yang berhasil menaklukkan nafsu rendah badani yang bersembunyi dalam jiwanya. Mereka adalah pahlawan yang terbang meninggalkan gemerlapan bumi. Mereka penjaga keseimbangan bumi, pemelihara bumi sejati dan penegak keadilan. Mereka pahlawan yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh penghuni bumi, karena memberi rahmat kepada lingkungannya. Benarkah Abah Syarif sebagai satrio pinandhito sinisihan wahyu yang akan menyelamatkan umat dan  bangsa Indonesia? Sesuai tanda-tanda dan kapasitas ketokohannya, sepantasnya beliau menaiki tahta kepemimpinan di Nusantara yang ketujuh.
Jangka Ronggowarsito tentang tujuh satrio (pemimpin) di Nusantara sebagai berikut.
  1. Satrio Kinunjara Murwa Kuncara (pemimpin yang masuk-keluar penjara, tapi namanya harum di pentas internasional), yaitu Soekarno.
  2. Satrio  Mukti Wibawa Kesandhung-kesampar (pemimpin yang kaya dan berwibawa, tapi terguling dan dipersalahkan), yaitu Soeharto.
  3. Satrio Junumput Sumela Atur (pemimpin yang “dicomot” untuk menyelingi masa transisi), yaitu B.J. Habibie.
  4. Satrio Lelana Tapa Ngrame (ruhaniawan pemimpin yang suka beranjang sana), yaitu Gus Dur.
  5. Satrio Piningit Hamung Tuwuh (pemimpin yang mengandalkan trah), yaitu Megawati Soekarnoputri.
  6. Satrio Boyong Pambukaning Gapura (pemimpin yang menyaksikan pengungsian penduduk lagi pembuka zaman kemakmuran), yaitu SBY.
  7. Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu (pemimpin sekaligus waliyullah yang terbimbing wahyu), yaitu pemimpin yang tanda-tanda kehadirannya sudah dijangka orang-orang yang punya ketajaman batin, seperti Jayabaya dan Ronggowarsito.
Ini hanya untuk santri Abah Syarif.
Laku lahir patang perkoro(perilaku lahir empat hal):
1.Wong bodo koyo kebo (orang bodoh bagai kerbau), 2. Wong pinter keblinger (orang pandai tersesat),3.Wong ngerti gampang loro ati (orang berilmu mudah sakit hati), 4. Weruh ra keno njupuk duweke liyan (tahu tak boleh mengambil hak orang lain).
Laku batin patang perkoro (perilaku batin empat hal):
1.Waskito (tajam mata batin),2. Hutomo (utama),3. Sampurno (sempurna), 4. Mukso/selamet (selamat).
Hablumminalloh mlebune nafas tobat toat, hablumminannas metune nafas rogo nguntungne wong liya. (Hablumminalloh, masuknya nafas taubat lagi taat kepada Alloh SWT. Hablumminannas, keluarnya nafas raga menguntungkan orang lain). Manajemen, prihatin, sosial, berani dan tanggung jawab.
Ojo neko-neko, ojo leno, ojo nakal, laku utomo nguntungne wong liya, kapan aku dadi wong apik. Kabeh mau ngunduh wohing pakarti, ayo manut wali nabi Gusti (Jangan menyimpang, jangan lengah, jangan licik. Perilaku utama menguntungkan orang lain. Semua akan menuai pekertinya. Ayo ikut nabi, wali dan Alloh SWT).
Abah Syarif senantiasa memperingatkan adanya oknum-oknum sebagai sumber kerusakan sebuah negara.  Para oknum tersebut adalah dukun, paranormal, sebagian besar pejabat dan kiai. Sebagian besar pejabat yang mendapat suwuk dari dukun dan paranormal  menggadaikan negara kepada perusahaan asing, padahal ia merusak sumber daya alam Indonesia. Tanah Nusantara sebagai aset termahal, digadaikan pejabat dalam masa kontrak kurang lebih satu abad.
Letak kesalahan  kebanyakan kiai sekarang adalah menjual agama dan pondoknya kepada pejabat dan umat. Seringkali pendirian pondok pesantren berorientasi mencari bantuan dari pemerintah dan mengeruk keuntungan dari para santrinya.
            Carut-marutnya kondisi sosial-politik, sosial-ekonomi dan sosial-keagamaan Indonesia dewasa ini menggerakkan hati Abah Syarif untuk jumeneng noto. Jumeneng artinya mengatur dan membenahi negara. Noto  artinya menata rakyat dan umat, termasuk mengayomi dan menghibur mereka.
            Setidaknya Abah Syarif hendak meniru mentalitas leluhurnya, Browijoyo V dalam jumeneng noto, lebih-lebih bisa seperti Nabi Muhammad saw. Di masa pemerintahannya, Browijoyo V akrab dengan para wali, terutama kemenakan permaisurinya, Ratu Anarawati, yaitu Sayid Rahmat.  Jika sebuah pemerintahan telah bekerja sama dengan wali dan ulama, tentu keadilan dan kesejahteraan negara tercapai dengan nyata. Sebaliknya jika sebuah pemerintahan telah meremehkan wali maupun ulama, maka cita-cita keadilan dan kesejahteraan hanya omong kosong!

Kerjasama Browijoyo V dengan Sayid Rahmat

            Sayid Rahmat (Sunan Ampel) adalah cucu dari Syekh Jamaluddin Jumadil Kubro. Ketika keadaan sosial-politik, sosial-ekonomi dan sosial-keagamaan kerajaan Majapahit carut-marut, Prabu Browijoyo sangat prihatin. Permaisurinya dari Cempa, Ratu Dewi Anarawati pun tanggap atas keprihatinan sang suami. Ia pun mengajukan inisiatif kepada Prabu untuk memanggil kemenakannya, Sayid Rahmat ke Majapahit guna memperbaiki moral kaum bangsawan dan pangeran.
            Prabu Browijoyo setuju atas inisiatif istrinya itu. Sayid Rahmat ke Jawa ditemani ayahnya, Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya, Ali Murtadla. Sayid Rahmat tinggal beberapa hari di Majapahit dan dinikahkan dengan putri Majapahit, Dewi Candrawati. Sejak itu beliau dipanggil Raden Rahmat, karena menjadi menantu Raja Majapahit, Browijoyo V. Langkah awal Raden Rahmat dalam upaya memperbaiki moral para petinggi Majapahit adalah mendirikan masjid dan pesantren.
            Prabu Browijoyo sangat simpatik kepada Raden Rahmat, karena tutur bahasa dan wataknya yang lemah lembut. Sang Prabu akhirnya menghadiahkan sebidang tanah beserta bangunannya kepada menantunya itu di Ampeldenta Surabaya, sehingga beliau terkenal dengan sebutan Sunan Ampel. Ajaran Raden Rahmat tepat mengenai sasaran penyakit sosial-masyarakat yang diidap kaum bangsawan Majapahit. Ajarannya Moh Limo (hindari lima) macam penyakit sosial-masyarakat, yaitu “main”, madon, madat, maling dan minum. Arti masing-masing adalah main judi, main perempuan, menghisap ganja (narkoba), mencuri dan minum arak. Prabu Browijoyo bangga memiliki menantu seperti Raden Rahmat, karena keberhasilannya memperbaiki mentalitas para putra bangsawan, adipati dan kawulo. Lima macam penyakit sosial inilah yang dinilai akan membawa Majapahit ke arah kehancuran.
Demikian juga yang terjadi di Nusantara sekarang, sehingga Abah Syarif yang dikenal memiliki karomah hendak memperbaiki Nusantara lewat jumeneng noto-nya.

Menuju Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur

            Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur (negeri yang bagus nan penuh ampunan Tuhan)  menjadi dambaan umat. Hal ini sering dilontarkan di berbagai forum keagamaan.
            Doa khotib di mimbar shalat Jum’at terdengar.
          Allohummaj’al baldatana Indonesia baldatan thoyyibatan tajrii fiha ahkamuka wa sunnatu rosulika, ya Hayyu ya Qoyyum       (Ya Alloh jadikanlah negeri kami Indonesia, negeri yang bagus yang berlaku hukum-Mu dan sunnah Rosul-Mu, wahai Yang Mahahidup dan Mahamandiri).
            Jika doa itu dikabulkan Alloh, tentunya melalui tangga kepemimpinan Abah Syarif di Indonesia.
            Abah Syarif pernah mengatakan bahwa setidaknya ia mampu meniru seperti Browijoyo, lebih-lebih seperti Nabi Muhammad saw.
            Kata-kata tersebut mengandung pengertian bahwa setidaknya ia dapat jumeneng noto dengan sasaran sebatas memperbaiki moral para pejabat dan masyarakat Indonesia umumnya. Untuk menuju negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (negeri yang sejahtera nan penuh ampunan Tuhan),  tentu melalui kepemimpinan beliau. Demikian pandangan ke depan Abah Syarif.
            Abah Syarif menganalisa bahwa keislaman sebagian besar kiai Indonesia kini hanya lahirnya, tanpa menyentuh batinnya. Hal inilah yang menjadi petaka bagi umat yang awam. Justru yang menyesatkan umat terutama sebagian besar kiai, karena kiai di mata orang awam sebagai panutan. Tak salah jika sebagian besar kiai disebut sebagai setan makan sambal.
            Digambarkan karakter kebanyakan kiai “datangnya di majlis tertinggal, tapi menyantap makanan paling awal. Lalu kiai pulang dengan membawa amplop yang berisi uang  sumbangan  yang dikumpulkan umat.” Demikianlah sikap dan watak kebanyakan kiai di tengah umat, sehingga  menimbulkan citra buruk bagi seluruh kiai di mata orang awam. Seorang kiai dapat menyesatkan dua orang awam. Telah terbentuk opini di tengah umat bahwa sekarang tak ada kiai yang “ikhlas”, semua punya pamrih amplop.

Koreksi Pengamalan Rukun Islam

            Kekayaan Abah Syarif tergolong luar biasa. Sehari rata-rata penghasilannya bisa mencapai 5 juta rupiah. Hanya 100 ribu yang Abah Syarif sisihkan untuk kebutuhan keluarga yang berjumlah 8 orang, yaitu 2 isteri dan 5 putra. Sisanya didermakan untuk kepentingan sosial, terutama untuk santri-santrinya. Begitu perhatiannya beliau pada masalah ini. Ketika tiba waktunya berkorban tiap 10 Dzulhijjah dan membayar zakat tiap bulan Romadhon, beliau tak mampu menunaikannya lantaran sebagian besar kekayaannya sudah didermakan. Itulah koreksi pengamalan rukun Islam, seperti yang diamalkan kebanyakan umat Islam sekarang. Di antaranya mereka membayar zakat sebesar 2,5 % dari kekayaannya. Setelah itu mereka tak peduli masyarakat sekitarnya kekurangan.
            Bila jumeneng noto di Nusantara nanti, beliau sanggup melunasi utang Indonesia dalam tempo hanya 3 tahun. Selama utang belum lunas, beliau dan para pembantunya pantang menikmati kekayaan negara dan bersedia tidur di teras toko! Sebab menikmati kekayaan di atas beban utang, berarti mengonsumsi barang yang tidak thoyyib.
            Di kala remajanya, Abah Syarif memilih 9 orang santri. Mereka masih bocah berusia sekitar 5 tahun. Cikal-bakal kepemimpinan Abah Syarif mulai dari sini. Abah Syarif seringkali rela makan gaplek, tapi santri-santrinya tersebut harus makan beras.
            Pada 1998 Abah Syarif gemar membagi-bagikan kakayaan atau uang kepada orang lain yang membutuhkan. Beliau bisa menjadikan pengikutnya menjadi kaya atas izin Alloh, tapi bukan itu misinya. Sebab, tiap orang tidak sama jatah rezekinya. Kasihan orang yang jatah rezekinya sedikit tapi diumbar dengan banyak kekayaan. Begitu pula sebaliknya. Tentu ia akan murtad kembali ke jalan sesat. Biarlah Alloh yang memberikan porsi rezeki menurut ukurannya.
Dalam Al-Qur’an berulangkali disebutkan kata thoyyib yang bermakna bisa membawa berkah bagi jasmani dan ruhani manusia. Keberkahan tersebut bisa terwujud jika manusia mengamalkan aturan dengan baik. Hal ini jika terjadi bila wakil dari         Al-Wakil (Maha Pemelihara) atau kholifah-Nya telah jumeneng noto. Nilai-nilai rukun Islam pun diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga terkikislah kedzaliman dan kesewenang-wenangan di masyarakat.
Syahadat bermakna kehadiran Alloh dalam jiwa, lahir dari sebuah kesadaran yang mendalam. Nabi dan kenabian sebagai hal yang selalu hidup. “Muhammad” sebagai lambang nur dan ruh. Sholat yang diawali dengan gerakan ritual jasmani melahirkan sholat hati selamanya (sholat daim) yang tak terikat tempat, pakaian dan waktu. Di samping puasa syariat, puasa ruhani  tak mengenal waktu dengan tertahannya pancaindera dan hati dari hal-hal yang terlarang.
Zakat bukan dalam arti hanya mengeluarkan 2,5% dari kekayaannya yang halal tiap tahun sesuai nisob, tapi mengulurkan bantuan kepada orang yang memerlukan. Haji adalah olah ruhani. Makkah pada hakikatnya adalah spirit manusia yang tak hanya ditempuh dengan bekal uang.
            Seorang kholifah yang telah mencapai ma’rifatullah, pasti terkumpul sifat-sifat kebaikan.
1.     Sifat-sifat Alloh yang menutupi dan mengampuni kesalahan hamba-Nya, bahkan dirinya mencerminkan asma, sifat dan perbuatan Alloh.
2.     Sifat Muhammad saw, yang memberi syafaat dan sebagai sahabat makhluk. Ia sebagai cermin ruh, nur dan hakikat Muhammad.
3.     Sifat Abu Bakar ra, yang jujur dalam kebenaran dan kebajikan.
4.     Sifat Umar ra, yang ber-amar ma’ruf nahi munkar,
5.     Sifat Utsman ra, yang menyantuni fakir-miskin dan bangun di malam hari.
6.     Sifat Ali ra, yang berilmu dan pemberani.
            Abah Syarif memiliki sifat-sifat yang suka memaafkan kesalahan orang lain. “Cacian, makian, halangan, rintangan adalah konsumsi harian. Fitnah  dan lawan adalah hiburan,” demikian salah satu semboyan dalam perjuangannya.           
Beliau suka menolong orang yang sedang dirundung kesusahan dan sahabat masyarakat dari berbagai kalangan, bahkan sahabat nyamuk yang menggigitnya.
            Beliau bisa melakukan berbagai macam pekerjaan, tapi tak bisa menipu dan curang. Amar ma’ruf nahi munkar adalah pekerjaannya, bahkan tak segan mengingatkan pejabat yang berbuat salah. Pondok pesantren yang beliau dirikan dihuni kebanyakan anak-anak fakir-miskin dan beliau gemar menyantuni mereka. Di samping fisiknya kuat, beliau juga berilmu dan pemberani dalam menghadapi tantangan. Ilmunya tak hanya sebatas teori, tapi benar-benar bermanfaat bagi orang lain.
            Ilmu syariatnya diamalkan dalam rangka rahmatan lil ‘alamin, seperti menyantuni fakir-miskin, memaafkan orang lain yang berbuat salah kepadanya dan pemberian pangestu dan wejangan kepada calon-calon pejabat. Demikian juga ilmu batiniahnya, dipergunakan untuk meyakinkan orang yang masih ragu pada alam ghaib. Misalnya ketika beliau menyuruh malaikat Izrail (pencabut nyawa) untuk mengembalikan ruh Yati Pesek (artis sekaligus pelawak) yang sudah dinyatakan mati. Atas izin Alloh ruh itu kembali lagi ke dalam jasadnya sehingga menjadikan Samuel, santri Abah Syarif yang beragama Nasrani yang di dekatnya menyebut Abah sebagai “Yesus.” Beliau disebut “Yesus” karena juga suka memberi makan kepada banyak orang.
            Abah Syarif begitu kental dengan sifat-sifat kholifah Alloh, sehingga seorang raja segan kepada beliau. Pantas jika beliau jumeneng noto negara Indonesia tentu akan mendapat berkah dari kepemimpinannya. Indonesia akan menjadi sorotan luar negeri, karena kembalinya kekuasaan ke tangan wali. Waliyullah tidak hanya berjumlah 9 orang, sebagaimana yang tergabung dalam Dewan Walisongo. Itu hanya jumlah wali secara legal-formal yang memprakarsai berdirinya Kerajaan Islam Demak.
            Ciri lain seorang wali adalah mampu mengatasi masalah, bukan menambah masalah. Dewasa ini negara Indonesia sedang mengalami masalah besar, baik yang menyangkut dalam negeri maupun luar negeri.  Keduanya bermuara pada mentalitas sebagian besar pejabat yang merasa rendah diri terhadap asing, sehingga negeri dan aset-aset negara yang vital digadaikan kepada perusahaan asing. Misalnya pertambangan minyak, gas alam, emas dan hutan. Betapapun besar dan beratnya masalah Indonesia, jika sang wali telah nyabdo selesai masalah itu, maka selesailah! Intaha. Leres Gusti. (Selesai. Mahabenar Alloh SWT).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar